Cerpen: Karma
Bagaimana mungkin bayinya mempunyai kebiasaan yang persis sama dengan anak perempuan idiot yang pernah di usirnya dulu?
Sebenarnya, Meiva sudah merencanakan sesuatu yang istimewa hari Minggu ini. Dia ingin memasak makanan kesukaan Edward. Lalu, sore hari akan membuat cemilan kesukaan suaminya. Maklum, mereka sedang berbahagia karena Meiva dinyatakan positif hamil oleh dokter. Sebuah sukacita yang datang setelah menunggu dan berdoa selama tiga tahun.
Namun, semangatnya lenyap ketika pulang dari pasar, yang tak begitu jauh dari rumah. Kesenangannya berganti menjadi kejengkelan dan sakit hati.
Saat masih di teras, Meiva mendengar tawa dua orang. Dahinya berkerut. Siapa yang sepagi ini bersama Edward? Ketika ia melangkah di teras, suara tawa itu semakin jelas. Suara seorang perempuan. Datangnya dari arah dapur.
Meiva meletakkan belanjaannya begitu saja di lantai. Dengan napas memburu, Dia melangkah cepat menuju langkah suara. Sesuatu yang tidak disukainya terpampang di depan mata.
Edward duduk di salah satu kursi, berdampingan dengan seorang anak remaja yang tampak kumal. Mereka tertawa riang. Edward menyuapkan sesuatu pada anak perempuan itu.
Edward menyadari kehadiran Meiva. Dia melambai.
“Hai, Mei, sini,” panggil Edward. “Ada Arum.”
Meiva mendekat dengan darah mendidih, berdiri tepat dihadapan kedua orang tersebut. Seraut wajah kotor cengengesan ke arahnya, lalu menggaruk-garuk kepalanya yang berambut panjang dan kusut, bahkan dicemari beberapa rumput kering. Kepalanya menyentak-nyentak tak beraturan.
“Ayo Arum, bilang apa pada Tante Meiva?” Ujar Edward lembut.
Arum Cengengesan, kepalanya menyentak-nyentak lagi.
"K-kuenya ... e-enak, lho.”
“Bukan begitu, seharusnya Arum bilang....”
“Ed!” desis Meiva, menyela ucapan suaminya. “Apa-apaan ini? Mau apa anak idiot ini di rumah kita?”
“Mei, jangan kasar. Tadi, tidak lama setelah kau pergi, aku melihat Arum duduk di teras depan. Katanya, dia belum makan sejak kemarin. Karena itu, ia kuajak.....”
“Memangnya rumah ini gudang makanan?!” Lagi-lagi Meiva menyela. Kali ini dengan nada tinggi dan mata melotot. Suruh dia cari di tempat lain!”
“Kau kan tahu, dia tidak punya siapa-siapa di sini. Apa salahnya memberikan sesuatu untuk dimakan? Aku kasihan padanya.”
“Kau boleh memberinya makanan, tapi tidak perlu mengajaknya masuk.”
“Kan kasihan kalau disuruh makan di luar, Mei.”
“Nggak peduli! Aku nggak mau rumahku dikotori gembel.” Meiva berbalik.
“Aku tak akan keluar kamar selama dia masih di sini.”
Sepeninggal Meiva, Edward menatap iba pada Arum, yang sepertinya tidak terganggu oleh pekikan yang ditujukan kepadanya. Remaja cacat mental itu terus saja cengengesan sambil mengunyah. Noda krim melumuri kedua pipinya. Tangannya kadang-kadang menggaruk beberapa tempat, sehingga meninggalkan noda krim juga di situ.
Edward mendesah. Dia tidak mengerti, mengapa Meiva sangat antipati terhadap Arum, sama seperti kebanyakan tetangganya di kompleks ini. Padahal, Arum tidak pernah berbuat onar. Dia hanya dekil, lemah mental, dan tidak mampu berkomunikasi dengan lancar. Bahkan masih cadel kalau mengucapkan beberapa kata tertentu.
Tak ada yang tahu, kapan tepatnya Arum masuk ke kawasan permukiman ini. Tapi, paling tidak sudah sekitar tiga bulan. Setiap hari dia makan dari belas kasihan orang. Sesekali, ada yang memintanya membantu mengangkat belanjaan dari pos satpam sampai ke rumah, lalu memberinya seribu atau dua ribu rupiah. Arum malah memandangi uang itu dengan tatapan aneh.
Meski kehadirannya tidak begitu dipedulikan, tak ada warga yang merasa terganggu. Seharian, kerja Arum hanya berkeliaran dari satu blok ke blok lain. Kadang-kadang sambil berceloteh sendiri, seperti bernyanyi, dan cengengesan bila bertemu orang. Jika cuaca terlalu panas, atau hujan, atau karena lelah, Arum berteduh di pos satpam. Tapi, kalau malam tiba, tak ada yang tahu dia tidur di mana. Beberapa pemuda yang suka begadang mengaku pernah melihatnya di atas pohon.
Edward mengajak Arum keluar.
“Arum pergi main, ya?” kata Edward dengan suara rendah.
“Ini Oom kasih kue lagi. Arum pasti masih lapar.”
Arum cengengesan, mencium punggung tangan Edward dengan tingkah seperti balita.
“Ayo, bilang apa?”
Kepala Arum menyentak beberapa kali. Kue dalam plastik dipeluknya erat-erat sampai bentuknya tak keruan. “M-maaf... ku-kuenya e-enak.”
Edward tersenyum. “Bukan maaf, tapi terima kasih.”
“M-maaf, a-aku suka k-kuenya.” Dia cepat-cepat berlalu.
Edward bergegas ke kamar. Dia mendapati Meiva duduk menekuk lutut di ranjang. Wajahnya seperti jeruk nipis dicelup dalam asam cuka.
Edward duduk di sisinya. Meiva melengos.
“Mei, kenapa?”
“Kau membuatku jengkel.”
“Gara-gara Arum?”
“Memangnya, gara-gara siapa lagi?”
“Aku hanya memberinya makan pagi.”
“Kenapa harus diajak masuk?”
Edward tak menjawab. Sebenarnya, dia ingin bertanya, apakah itu salah. Tapi, ia urung bertanya karena khawatir membuat emosi Mei makin tak terkendali. Kadang-kadang istrinya bisa bersikap sangat kekanakan. Apalagi, sekarang dia sedang hamil muda dan emosinya mudah labil.
“Sudahlah, Mei, ini masalah sepele.”
“Aku tetap tidak suka, Ed!”
“Memberi makan orang lapar dan memberi minum orang yang haus besar pahalanya. Kenapa,sih, kau harus semarah ini? Seharusnya, kau senang melihat aku berbuat baik.” Edward mulai merasa jengkel. Kemarahan Meiva dirasanya tidak beralasan.
“Siapa bilang aku tidak senang?”
“Lalu, kenapa masih sewot? Kau mau dia pergi, sekarang dia sudah pergi. Masih belum cukup?”
“Lho, kok, aku yang dimarahi?”
“Aku tidak marah, hanya kesal melihat tingkahmu yang tidak pada tempatnya. Arum tidak merusak apapun di rumah ini. Lagi pula, bukan dia yang minta masuk, aku yang mengajak.”
Meiva menatap garang. ”Sejak tadi kau terus membela Arum, aku jadi curiga.”
Edward menuju kasur di sisi tubuhnya.
“Apa lagi, Mei? Curiga? Apa yang kau curigai?”
“Kau menyuruhnya masuk saat aku tidak di rumah. Entah apa yang terjadi kalau aku tidak segera pulang.”
“Demi Tuhan, Mei, apa yang terjadi padamu hari ini? Jangan-jangan kau sudah tidak waras?”
“Kecurigaanku beralasan, kan?”
“Dia itu kumal, lemah mental, juga...”
“Biar begitu dia tetap perempuan. Kalau tidak dekil dan bau, dia cukup menarik. Tubuhnya bagus. Sedang mekar-mekarnya. Siapa yang peduli dia cacat mental atau idiot?”
Dalam kaget dan marahnya, untuk beberapa saat Edward tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Dipandanginya Meiva dengan tatapan yang sukar diartikan.
“Kau... tuduhanmu membuatku kecewa dan tersinggung, Mei. Apa yang kulakukan kepada Arum benar-benar tulus. Tega-teganya kau mengeluarkan ucapan sekejam itu. Sedikitpun, tidak pernah trlintas dalam pikiranku untuk berbuat kotor padanya, seperti yang kau tuduhkan barusan. Orang seperti dia jarang mendapat perlakuan yang wajar dan aku merasa terpanggil. Apa yang kuberikan pada Arum pagi ini tidak akan membuat kita kelaparan!”
Edward beringsut turun dari ranjang, lalu bertukar pakaian.
“Mau kemana, Ed?”
“Pergi.”
“Ke mana?”
“Tidak tahu.”
“Berapa lama?”
“Entah.”
“Aku mau masak soto udang dan membuat bolu pandan. Semua kesukaanmu.”
“Kau saja yang habiskan.” Edward keluar tanpa menoleh lagi.
“Edward!”
Pintu tertutup dengan suara keras.
Meiva membanting tubuhnya ke ranjang. Dia sungguh kesal. Hari Minggu yang rencananya akan dijalani dengan penuh kegembiraan, malah jadi rusak. Padahal seingat Meiva, semenjak menikah mereka belum pernah bertengkar, bahkan ketika menghadapi masalah yang lebih serius. Semua selesai tanpa harus adu urat leher.
Semua gara-gara Arum, gembel lemah otak itu. “Dasar anak idiot!” makinya pada angin.
Tiga hari setelah pertengkarn mereka, Arum seolah menghilang dari kompleks. Barangkali, dia bergelandang ke permukiman lain. Dalam hati Meiva merasa lega. Dia sendiri tidak tahu, kenapa harus merasa terancam melihat perhatian Edward tempo hari. Mungkin, karena suaminya mengajak Arum masuk ke rumah.
Edward juga tampaknya tidak mau menyinggung-nyinggung hal tersebut. Dia menduga, Meiva sedang sensitif karena janin dalam rahimnya.
Dan, seorang Arum terlupakan begitu saja dari benak semua orang.
Sampai pada suatu malam, sehari menjelang kelahiran anak pertama mereka, Meiva yang sudah berada di rumah sakit seolah melihat sosok Arum di sudut ruangan yang agak temaram. Saat itu pasti sudah dini hari. Dia tidak tahu, kenapa mendadak terjaga. Rasanya, ada seseorang yang tengah mengamatinya sehingga tidurnya gelisah.
Dalam pandangan Meiva, seluruh tubuh Arum basah sehingga rambutnya yang sepinggang makin kusut. Pancaran matanya sedih sekali. Meiva menekan saklar lampu meja. Ruangan jadi terang. Bayangan itu menghilang.
Terdorong rasa penasaran, Meiva mematikan lampu. Sudut itu tetap kosong. Diulanginya lagi menghidup-matikan lampu, tetap tidak ada apa-apa. Kejadian itu dianggapnya sebagai halusinasi akibat rasa takut berlebihan menjelang kelahiran bayinya. Meskipun, dia tidak mengerti kenapa harus dalam sosok Arum.
Dia menyimpannya dalam hati.
Kelahiran buah hati mereka berjalan normal. Tak ada kesulitan berarti. Tak sampai satu jam, terdengar lengking bayi. Penduduk bumi bertambah satu, seorang bayi perempuan cantik seberat tiga kilogram yang kata dokter....
“Tendangan kakinya sangat keras. Mungkin, kelak akan menjadi karateka atau pemain sepak bola wanita terhebat di dunia.”
Edward-Meiva tak henti-hentinya menatap keajaiban yang hadir diantara mereka. Sungguh, Tuhan Mahabesar, mengatur sedemikian rupa sehingga seorang manusia bisa hidup dalam tubuh manusia lainnya, dengan tetap mendapat udara dan makanan.
Ketika kembali ke rumah dan menggendong bayinya ke dapur, sekilas Meiva seperti melihat sosok Arum di kursi yang dulu didudukinya. Tapi, ketika Meiva mengedipkan mata, kursi itu kosong. Mungkin, dia jadi mudah berhalusinasi karena kondisi tubuhnya masih lemah.
Lagi-lagi dia tidak menceritakan hal tersebut pada Edward.
Hari-hari Edward dan Meiva tak pernah lepas dari tawa bahagia. Buah hati mereka, Nadine tumbuh begitu cepat dan sangat banyak bergerak. Mulanya, Meiva mengira, itu menunjukkan tanda kelak Nadine akan menjadi anak yang aktif.
Dia baru sadar ada yang tidak beres ketika mendapatkan Nadine juga sering bergerak dalam tidurnya. Gerak yang tidak beraturan, terutama kepala yang menyentak-nyentak, seolah diguncang sesuatu yang tidak kelihatan.
Meiva tidak membutuhkan waktu lama untuk mengingat seseorang yang mempunyai kebiasaan serupa. Seseorang yang pernah dibencinya. Tidak salah lagi. Arum.
Batin Meiva memekik. Tidak mungkin! Ini pasti sifatnya sementara. Kelak Nadine akan senormal anak lain. Kenyataan itu tidak pernah disinggungnya di depan Edward. Sayangnya, hanya perlu beberapa hari hingga suaminya melihat sendiri ketidakberesan pada anak kesayangannya.
Sampai umur dua tahun, Nadine tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun, kecuali ‘Mama’ dan ‘enak’. Itu pun dengan nada sengau. Yang makin membuat batinnya teriris, Nadine selalu cengengesan. Air liurnya berlelehan tanpa henti.
Meiva sangat terpukul.
Kini, dia mengerti apa maksud Arum ‘menampakkan diri’ dua kali menjelang kelahiran Nadine. Dia sedang diperingatkan, bahwa karma, cepat atau lambat, akan berlaku.
0 Response to "Cerpen: Karma"
Post a Comment