Kata Maaf Sulit Terucap (Melatih Memberi dan Meminta Maaf) Menurut Desy Christina, M.Psi

Pernahkah kamu bermusuhan selama bertahun-tahun dengan seseorang yang tadinya adalah teman Kamu? Dan saat ini, Kamu ingin sekali membina hubungan kembali dengannya tapi segan meminta maaf terlebih dahulu? Atau sebaliknya, Kamu segan memberi maaf? Maaf, kata yang sederhana, tapi tak mudah diucapkan. Terlebih jika kata itu telah terbungkam selama betahun-tahun. Desy Christina, M.Psi., seorang praktisi psikologi, berusaha mengurai pentingnya meminta/memberi maaf walau hubungan sudah lama tak harmonis.

Mengapa bisa Sampai bermusuhan begitu lama, apa yang membuat seseorang sulit meminta maaf atau memaafkan?

Kata 'Maaf' dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti ampun atau pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda, dan sebagainya) karena suatu kesalahan. Kata 'seseorang' pada definisi tersebut adalah bagian penting dari proses memaafkan itu sendiri. Siapa yang berbuat salah dan jenis kesalahan yang dilakukan, berpengaruh dalam menentukan apakah tindakan memaafkan dapat dilakukan dan seberapa cepat keputusan tersebut dapat diambil. Misalnya seorang suami atau istri yang berselingkuh dan lama perselingkuhan itu terjadi, menentukan apakah pasangannya dapat memaafkan atau tidak. Dampak mental, emosional atau spiritual yang dirasakan pasangan ketika durasi perselingkuhan lebih lama (misalnya bulanan atau tahunan) umumnya lebih berat dibandingkan perselingkuhan sesaat.

Ternyata lebih mudah memaafkan orang asing atau kerabat jauh daripada jika hal yang sama dilakukan oleh orang terdekat. Contohnya: anak balita melintas di depan mobil yang melaju sehingga tertabrak dan meninggal, kebanyakan orang tua meski sangat berduka akan memaafkan pengendara mobil, terutama jika menunjukkan empati. Sebaliknya bila seorang ayah atau ibu dengan ceroboh memundurkan mobil dan tanpa disengaja menabrak binatang kesayangan, apalagi anak balitanya, memaafkan menjadi lebih sulit. Kerusakan hubungan akibat ledakan marah sesaat atau terucapnya tuduhan yang menyakitkan biasanya juga sulit ditarik kembali dan tidak dapat dimaafkan oleh sebagian besar orang.

Yang juga penting dalam hal ini adalah bahwa ada berbagai tingkatan penderitaan (akibat dari suatu kesalahan). Derita fisik biasanya lebih mudah dimaafkan daripada area lainnya. Ketika seseorang sudah 'terluka' secara psikis, seperti dalam kasus kekerasan domestik atau seksual, waktu yang dibutuhkan bagi penyintas (survivor) untuk memaafkan pelakunya relatif lebih lama. Belum lagi ditambah dengan seberapa dekat hubungan pelaku dengan penyintas dan kompleksitas situasinya.

Baca juga : Sedang Emosi atau Cemas? Lakukan Butterfly Hug, Menurut Psikolog Veronica Adesla, M.Psi.

Mengapa harus memaafkan?

Semua orang pernah menjadi korban, termasuk di dalamnya penyintas kejahatan kriminalitas, kekerasan pada anak dan sebagainya, harus memutuskan sendiri apakah ia memaafkan pelakunya atau tidak. Tidak ada daerah abu-abu untuk keputusan ini. Kita bisa memaafkan orang yang menyakiti kita, atau bertahan pada kepahitan dan kemarahan.

Perlu ditimbangkan bahwa pilihan kedua memiliki konsekuensinya sendiri. Jika Kamu pernah menjadi korban, memaafkan pelaku merupakan langkah penting dari pemulihan Kamu. Tindakan memaafkan tidak bergantung pada kata permintaan maaf dari pelaku. Dengan atau tanpa permintaan maaf, kita dapat memaafkan perbuatan tersebut dan berdamai dengan rasa marah/sakit tersebut.

Ada banyak kasus saat kemarahan dan keinginan penyintas untuk membalas dendam mengonsumsi seluruh hidupnya. Mereka terpaku pada kehilangan mereka. Mereka sepertinya yakin bahwa kebencian dan kemarahan, akan memuaskan rasa dendam dan membawa pemulihan. Ironisnya, kepahitan akibat dendam bekerja seperti racun otak yang tidak menyakiti diri orang lain kecuali diri kita sendiri. Berusaha membalas dendam atau mengharapkan hal yang buruk pada orang lain paling tidak akan menguras kekuatan kita dan mencegah pemulihan luka batin kita.

Kesimpulannya, jika kita tidak melepaskan keinginan untuk membalas dendam, kita tidak pernah dapat sungguh-sungguh pulih, dan kita tidak dapat pulih jika kita membuat orang lain menanggung beban pemulihan kita.

Kapan saat yang terbaik untuk memaafkan atau meminta maaf?

Sebenarnya tidak ada benar-benar satu waktu yang terbaik untuk memaafkan. Lebih penting untuk menyadari bahwa kita tidak terjebak pseudo forgiveness (Enright, 2001), yaitu ketika kita mengatakan bahwa kita masih menyembunyikan rasa marah atau mempertahankan sikap tak acuh. Sebaliknya memaafkan sejatinya meliputi transformasi total dari sikap kita kepada pelaku.

Memaafkan membutuhkan kesediaan diri untuk mengalami dan mengakui rasa sakit yang dialami pada diri sendiri, dan proses ini melibatkan perkembangan pandangan yang lebih kompleks terhadap orang yang menyakiti kita (Worthington, 2001). Memaafkan tidak sama dengan melupakan, menyangkal, menekan, mengabaikan, mencari pembenaran, ataupun tidak menghukum. Proses ini juga meliputi melepaskan (letting go) harapan yang tidak realistis. Selain itu juga meliputi kemampuan menunjukkan kasih sayang tanpa berusaha mengontrol hasilnya. Memaafkan membutuhkan kesediaan untuk membuka hati. Tanpanya, kita tidak bisa memaafkan dan tanpa hati yang memaafkan, kita tidak dapat mencintai dengan utuh.

Ada kata-kata bijak yang mengatakan bahwa 'kamu tidak dapat memaafkan seseorang sampai kamu mengalami sepenuhnya rasa sakit yang disebabkan oleh orang tersebut'. memaafkan merupkan suatu proses yang kompleks sehingga waktu yang terbaik untuk melakukannya, ya pada saat kita sudah siap.

Sementara untuk meminta maaf, sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah kita menyadari bahwa perbuatan atau perkataan kita secara sengaja atau tidak sengaja, menyakiti orang lain.

Baca juga : Ketika Pernikahan Hanya Sebuah Kedok Menurut Dra. Louise Maspaitella, M.Psi

Jika permusuhan hanya sepihak (pihak lain tidak menyadari atau tidak merasa "dimusuhi") apakah masih perlu meminta maaf/memaafkan? Jika ya, bagaimana cara yang terbaik?

Sekali lagi perlu ditekankan bahwa tujuan memaafkan / meminta maaf adalah untuk diri sendiri. Sehingga jika pertanyaannya apakah masih perlu dilakukan, jawabannya harus dikembalikan lagi ke diri sendiri. Seperti telah dijelaskan di atas, kemarahan dan rasa dendam/rasa bersalah hanya akan mengonsumsi diri kita sendiri baik secara fisik misalnya tidak bisa tidur, selalu berada dalam keadaa tegang, jantung berdebar-debar dan sebagainya, maupun secara psikis misalnya tidak dapat berkonsentrasi karena terus memikirkan cara untuk membalas/terus-menerus menyesali rasa sakit yang ditimbulkan, cemas, khawatir, takut, mudah marah, pahit, berpikiran negatif dan sebagainya.

Bagaimana cara untuk memulai meminta maaf/memaafkan setelah lama bermusuhan atau tidak berhubungan?

Pada prinsipnya meminta maaf meliputi menyatakan permintaan maaf itu sendiri ('saya minta maaf'), mengakui kesalahan ('kata-kata/perbuatan saya salah'), usul perubahan ('apa yang harus saya lakukan untuk memperbaiki kesalahan saya?'), komitmen ('saya tidak akan melakukannya lagi') dan permintaan ('maukah Kamu memaafkan Saya?'). Mengakui bahwa kita salah dan melakukan perbaikan atas perkataan / perbuatan kita merupakan langkah awal untuk memperbaiki hubungan.

Untuk memaafkan, kita dapat memulai dengan bersikap jujur dan mau bertanggung jawab terhadap hidup kita sendiri. Maksudnya di sini adalah berhenti menyalahkan orang lain. Sebagai orang dewasa kita mempunyai pilihan untuk melanjutkan hidup dalam kedamaian atau kemarahan. Langkah selanjutnya adalah membawa semua perasaan sakit, kecewa, marah atau apapun yang dirasakan ke permukaan agar kita dapat mengkajinya secara sadar. Sebelum semua perasaan tersebut diakui dan kiat terima, kedamaian yang ingin dicapai dari memaafkan, sulit untuk terjadi.

Bila dalam hal ini masalahnya sudah lama terjadi, perlu diperjelas di awal, perilaku atau perkataan apa yang ita tuju. Hal ini juga bisa menjadi pembelajaran bersama apakah masalah dipersepsi dengan cara yang sama oleh kedua belah pihak. Karena biasanya jeda waktu yang lama mengaburkan inti permasalahan, apalagi bila ditambah dengan informasi yang sepihak yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan keakuratannya.

Mungkin bagi sebagian orang sulit untuk langsung mendatangi atau berbicara secara terbuka mengenai masalah yang menyebabkan hubungan terputus. Untuk itu dapat menggunakan mediator yang dianggap netral bagi kedua belah pihak.  

Baca juga : Pasangan Biseksual, Bisakah Sembuh? Menurut dr. Ferryal Loetan, SpRM, Mkes

Apakah mungkin setelah sekian lama bermusuhan hubungan dapat kembali seperti sediakala walaupun sudah saling memaafkan?

Memaafkan tidak selalu berakhir dengan rekonsiliasi atau memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula. Rekonsiliasi hanya dapat terjadi jika :

  • Pihak yang menyakiti menyesali perbuatan/perkataannya serta mau memperbaiki 'kerusakan' yang disebabkan dan
  • Pihak yang disakiti mau memaafkan.

Tindakan memaafkan selalu menjadi pilihan mandiri kita, dengan atau tanpa keterlibatan pelaku. Caranya hampir sama dengan memaafkan yaitu dimulai dengan pengakuan secara verbal terhadap perilaku kepada orang yang disakiti. Kemudian meminta maaf dan selanjutnya menerima hukuman atau konsekuensi terhadap perilaku.

Bila kedua hal tersebut dilakukan, bukan tidak mungkin rekonsiliasi terjadi dan hubungan kekerabatan bertumbuh menjadi lebih dewasa. Dalam memelihara hubungan apapun, diperlukan usaha dari kedua belah pihak untuk menjaga dan merawat keharmonisannya.

Bagaimana kalau kata maaf tidak tercetus dari kedua pihak? Apakah mungkin hubungan dapat terjalin kembali?

Pada situasi dimana kata maaf tidak pernah terucap, hubungan dapat saja terjalin kembali. Tapi biasanya ada yang mengganjal bagi kedua pihak yang belum terselesaikan. Dikhawatirkan bila kemudian hari ada kejadian lain yang mengulik hal yang tidak terbicarakan ini, masalah menjadi membesar dan saling dikaitkan. Sebagai akibat kerusakan hubungan menjadi lebih parah dan sulit diperbaiki.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kata Maaf Sulit Terucap (Melatih Memberi dan Meminta Maaf) Menurut Desy Christina, M.Psi"

Post a Comment