Cerpen: Di Ujung Senja
Ia berlari, menggenggam buket bunga pernikahan, dan mencari masa lalunya. Yang ia inginkan saat ini hanyalah berlari dari masa kini.
Napasnya terengah, bukan karena lelah. Sesuatu bergemuruh di hatinya, seakan ada sesuatu yang runtuh. Disambarnya tas putih ibunya, hingga membuat wanita tua itu tercengang, nyaris pingsan. Tanpa mengangkat gaun pengantinnya, ia terus berlari. Di depan pintu gedung pernikahan yang besar dan berat itu, ia terjatuh. Di luar hujan turun gerimis, seolah langit ikut bersedih. Ia berlari ke arah gerbang. Ia, layaknya Cinderella, meninggalkan jejak sepatu kacanya di tangga istana sang pangeran.
Namun, ia tidak peduli. Bukankah senja tetap saja menjadi indah tanpa sebelah sepatu kaca? Ia menggenggam erat buket bunga krisantenum-nya, sambil terus berlari, meninggalkan sebuah sepatu kaca, berlari melupakan labu, melupakan tikus, melupakan segala wujud cinta yang mempertemukannya dengan sang pangeran. Ia hanya ingin mengulang masa lalu.
Dari belakangnya, lantang terdengar suara seorang pria berjas berlari mengejar,
“Aya, tunggu....”
Tiba di jalan besar, Aya bingung. Tapi, ia harus terus berlari, meski hujan makin deras, karena semua orang pasti akan mencarinya. Meninggalkan semua mata yang memandangnya. Mereka yang berpayung dan berjas hujan. Mereka yang menghindari hujan, yang diam membatu pada halte-halte pemberhentian.
Hingga akhirnya, di tengah jalan yang basah dan ramai, Aya menemukan sebuah bus, yang menawarkan jasa untuk mengantarnya menuju sebuah pelabuhan. Ia naik, menatap setiap penumpang dengan hampa. Matanya melihat sebuah bangku kosong di barisan paling belakang. Berpasang-pasang mata menatapnya dalam diam dan penuh tanda tanya. Aya berjalan menyusuri setiap bangku penumpang dengan tidak peduli dan terburu-buru, seakan takut kehilangan sesuatu, lalu duduk rapat-rapat menghimpit jendela.
Pria yang duduk di sampingnya adalah seorang tua berjaket hitam. Ia memandangi Aya dengan tatapan tidak mengerti. Ia tahu, gadis itu ingin sendiri. Ia pun kembali menekuni surat kabar dan rokok kreteknya, yang menyemburkan asap tembakau di hidung Aya.
Aya membuka jendela agar asap itu mendapatkan kebebasan. Ia memerhatikan gumpalan asap rokok yang menyerupai kapas putih. Asap itu membuatnya teringat pada kabut tipis di sebuah bukit di kota kelahirannya. Lalu, ia memerhatikan jalan-jalan yang mulai gersang. Memandangi langit yang mulai cerah, yang melukiskan wajah sang kekasih. Ia ingat ketika Sam pertama kali meremas tangannya pada perjalanan itu.
Ketika kondektur meminta ongkos, Aya mengeluarkan selembar uang, tanpa memedulikan jumlahnya.
“Mau ke mana, Mbak?”
Aya tak menjawab pertanyaan itu. Sekilas ia menatap kondektur itu, lalu memalingkan wajahnya ke luar jendela.
“Saya mau ke masa lalu.”
Kondektur itu tercengang. Tanpa memedulikan jawaban itu, ia memberikan uang kembalian pada Aya. Tapi, Aya seolah tak menganggapnya ada. Ia sibuk dengan pikirannya, yang membawanya kembali ke masa lalu. Dengan perasaan yang sedikit kesal dan heran, kondektur itu menyerah dan meletakkan uang kembalian itu di pangkuan Aya, di samping buket krisantenum yang basah kerana hujan.
Dalam bayang-bayang luar jendela bus itu, segala kenangannya kembali berulang. Seolah Aya melihat Sam memanggil namanya. Sam melambai-lambai seperti pohon kelapa di tepian pasir putih. Ya, pantai itu kembali memanggilnya dengan penuh cinta.
Waktu seakan tak ada nilainya, menerobos setiap labirinnya, memasuki pintu demi pintu masa lalu yang dulu pernah di lewatinya. Untuk saat ini Aya hanya ingin berlari. Maka, ia pun berlari melupakan masa kini dan berlari untuk menggapai kembali masa lalu. Ia ingin memeluk kenangan. Betapa indahnya senja pantai pasir putih di kota kelahirannya.
Ketika sampai di pelabuhan, Aya memesan tiket kapal cepat. Menyebrangi Selat Sunda dengan gaun setengah kering. Ia berlari masuk ke kapal. Diperhatikan semua orang dan memerhatikan semua penumpang, seolah mencari seseorang. Ia mengambil tempat duduk di dekat jendela dan tak menghendaki seseorang duduk di sampingnya. Ia menaruh tas di sampingnya dan memegang erat-erat buket bunganya. Ia tak ingin kehilangan sedetik pun sebuah kenangan yang pernah ia lewati. Ia ingin berjumpa pada masa lalu dan melupakan masa kini yang menyakitkan.
Aya turun di Bakauheni, lalu kembali berlari. Tiba pada jalan besar, ia pun mulai bingung. Apakah ia akan terus berlari? Sampai akhirnya gerimis tipis membasahai pipinya dan berbaur dengan air matanya. Ia mencari angkutan umum yang mau mengantarnya pada sebuah pantai bernama Pasir Putih. Sebab, seseorang dari masa lalunya telah menunggunya di sana.
Ketika melintasi jalan yang basah dan menanjak, Aya mendapati seorang supir tua angkot sedang terbuai mimpi dalam mobilnya. Tanpa membangunkan sang sopir, ia melompat masuk. Sopir itu terbangun, menyadari ada orang asing yang masuk ke dalam mobilnya. Ia terkejut, tapi tak bisa marah sebab wajah gadis itu begitu mengharukan.
Aya mencoba tersenyum, paling tidak sebuah senyuman yang ia lontarkan sebagai permohonan maafnya. Tapi, senyuman itu sungguh menyakitkan. Senyuman itu mengingatkan sopir tua itu pada masa lalunya, supir tua itu memerhatikan penumpangnya dari bawah ke atas. Gaun pengantinnya tidak putih lagi. Ia tahu, ia harus mengantar gadis itu ke suatu tempat, tanpa mengambil penumpang lain.
Si gadis berbisik lirih,
“Saya ingin ke pasir putih.”
Sopir tua itu yakin, berapa pun harga yang ia sebutkan, Aya tak akan menolak. Ia benar. Aya menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu, tanpa menghitungnya terlebih dahulu. Meski terkejut, supir tua itu sangat bersyukur atas rezeki yang datangnya tidak terduga.
Dalam perjalanan panjang menuju ke pasir putih, sopir tua itu bercerita tentang hidupnya. Namun, Aya hanya diam. Dari kaca spion dalam mobil sopir itu dapat melihat ekspresi Aya. Sewaktu Aya tak mengeluarkan sepatah kata pun, supir itu akhirnya diam. Ia kembali merajut harapan tentang hidup yang sempurna dengan keinginannya. Ia membayangkan apa saja kiranya apa saja yang ia belanjakan dengan uang itu. Membelikan emas untuk istrinya, membeli makanan enak-enak yang belum pernah ia cicipi, membeli televisi atau kulkas, dan membelikan gaun untuk istrinya seindah gaun yang di pakai gadis itu.
Gaun, Ia tahu, gaun yang dipakai gadis itu adalah gaun pengantin. Setiap kali dia melihat mata gadis itu dari kaca spion, ia jadi teringat sesuatu yang menyakitkan. Ia seperti memeluk masa lalu. Ia tahu, ia tak dapat mengulang dan meralat masa lalu. Mata gadis itu mengingatkannya pada anak gadisnya yang telah tiada. Sebuah mata yang kecewa karena cinta.
Ia pernah melihat mata itu, mata yang begitu tidak berdaya. Mata itu adalah mata yang sama dengan mata milik Sani, anak gadisnya. Sani adalah gadis lampung yang memiliki pesona tersendiri dengan kulit sawo matangnya dan rambutnya yang hitam terurai. Betapa banyak pria terpikat padanya ketika ia menjual ikan-ikan hasil tangkapannya di pasar ikan Lempasing. Sesuatu merenggut hati sopir itu.
Ada yang pahit mengendap menjadi ampas di dasarnya. Masa lalu membuatnya tidak berdaya. Sebab, ia silau dengan harapan dan materi yang membuatnya harus memilih. Apakah iya telah merebut kebahagiaan yang bersinar di mata Sani dulu? Tapi, ia tidak menyesal. Namun, mata Aya membuatnya sakit hati. Ia ingat tatapan Sani sehari setelah ia menolak lamaran pria yang di cintai gadis itu dan meneriam lamaran seorang pria kaya dari luar pulau.
Anak gadisnya itu menyuguhkan makan siang setelah ia selesai menjual ikan. Nasi, seruit (semacam lalapan dan sambal), tempe bacem, dan ikan goreng. Gadis itu duduk berhadapan dengannya, tanpa berani menatap matanya. Sani duduk diam. Matanya tercenung, menatap keluar menerobos waktu dan menyelami dalamnya laut. Pantai berpasir putih itu tampak memantulkan kilauannya di mata sang gadis. Tak ada yang tahu apa yang di pikirkan gadis itu. Kecuali bahwa mata itu menyimpan sebuah kecewa dan rasa yang menyakitkan.
Tak akan pernah terlupakan di suatu pagi yang dini, ketika ia pulang dari melaut. Ia menemukan gadisnya itu tanpa senyuman. Ia tak pernah tahu bahwa semalaman Sani tidak meninggalkan pantai. Bibirnya pucat, tangannya dingin. Namun, ia tetap ayu dengan mata murung itu. Dibelainya rambut Sani yang tipis hitam. Ia tak menyangka bahwa ia tidak akan pernah melihat gadis pantainya lagi setelah itu.
Suatu waktu di hari itu, orang-orang mendatangi sebuah karang di pantai Pasir Putih, yang pasirnya selalu mengingatkan akan sebuah keindahan cinta., misteri, dan kesucian. Ia murni dan tulus di peluk ombak. Pantai yang bersih itu adalah tempat segala pelabuhan. Ia melabuhkan harapan, harta lautan, tambatan nelayan, bahkan mungkin membimbing insan yang tenggelam. Da, di karang itu, orang-orang itu menemukan seorang gadis terbujur dengan tenang.
Darahnya mengalir menembus karang dan larut di lautan. Orang-orang iba dan bertanya,
“Siapakah gerangan gadis malang ini?”
Yang lain menjawab,
“Ah, ia lumat di makan kecewa....”
Lalu, mereka menaruh tubuh tak berdaya dan kaku itu perlahan-lahan di pantai putih. Membiarkan tubuh itu di selimuti ombak.
Ya, pasir putih mengingatkannya pada anak gadisnya. Meski, Pasir Putih yang dituju gadis bergaun putih itu tidak persis sama dengan pasir putih tempat anak gadisnya dulu melebur cintanya.
Tapi, ia tidak tahu apa yang terjadi pada gadis bergaun putih ini. Ia menduga, gadis itu melarikan diri di pesta pernikahannya. Ia menduga-duga, mungkinkah sang gadis cantik dengan mata yang menyakitkan hati itu, tidak mencintai pria yang menikahinya? Mungkinkah ia dijodohkan? Ia hanya dapat menerka-nerka.
Tatapan sopir tua dan Aya kadang-kadang bertemu, lalu saling buang muka. Tiba di Pasir Putih, Aya turun dalam diam, Meninggalkan tasnya. Ia tetap memakai sebelah sepatu kacanya. Diangkatnya roknya tinggi-tinggi agar ia tak jatuh lagi. Sopir tua itu memutuskan untuk menunggu Aya. Ia berharap, Aya tidak melakukan hal bodoh, seperti yang dilakukan gadisnya dulu.
Pria itu termangu menatap keluar pintu. Siang menjelang petang itu hujan mulai reda. Para tamu telah pergi dengan kecewa. Di tangan kanannya ia memegang sebuah sepatu kaca, di tangan kirinya ia memegang sebuah arloji berantai. Sesekali ditatapnya arloji rantai itu. Ia menghitung waktu, mungkin pula mengenang masa lalu. Aya pergi meninggalkannya, tanpa menyisakan waktu untuk menjelaskan sesuatu.
Ia mengenang Aya. Gadis itu adalah gadis yang dua tahun lalu ia temui di pantai Pasir Putih. Ia ingat, ia membawa Aya ke sebuah pulau, tempat ia mengikrarkan janji setia dan menginginkan Aya menjadi miliknya. Betapa cakrawala senja menjadi begitu indah di pulau Pasir Putih itu.
Kini, gadis itu pergi meninggalkannya. Ia sadar, seharusnya ia jujur mengatakan bahwa ia telah satu tahun ini tinggal bersama wanita lain yang mengandung anaknya. Ia telah melanggar janji itu. Dan, ia menyesal. Kalau saja ia dapat berlari dan mengulang waktu.
Tiba-tiba dirasanya sebuah tangan hangat menyentuh pundaknya. Apakah Tuhan hendak menghiburnya? Ia menoleh pada si pemilik tangan. Didapatinya senyum tipis pada bibir pria itu. Pria itu mengangguk dan ia mengerti maksudnya. Segala kecewa itu adalah hampa. Ia tak tahu di mana Aya kini berada.
Aya berdiri di tepi pantai, memandangi gunung dan laut. Ia tersenyum samb il menangis. Ia telah berlari dan kini merasa puas waktu telah menjadi miliknya. Ia tertidur di pantai yang halus dan putih itu. Ia membiarkan dirinya diselimuti ombak yang datang dan pergi membasahi gaunnya. Sebenarnya, ia lebih suka menikah di pantai itu. Sebab, kejujuran masa lalu tak dapat ternodai oleh waktu. Ia tertidur memeluk buket krisantenum dan menaruh sebelah sepatu kacanya di samping kepalanya. Ia ingin menatap langit yang teduh, gunung-gunung yang dibaluti kabut, dan rantai-rantai kenangannya.
“Aya, aku mencintaimu. Aku berjanji akan selalu mencintaimu. Apakah aku akan selalu ada di hatimu?”
Aya diam, lalu mengangguk.
“Meskipun aku telah berubah?”
Aya bergumam, “Ya, meskipun kau telah berubah....”
Tiba-tiba sebersit cahaya membuatnya terbangun dari kenangan masa lalu itu. Aya terduduk dan menemukan senja yang murung sekejap tampak penuh warna. Senja yang begitu indah. Ia pun tersenyum. Air matanya pudar. Aya merasa, ada yang ia ingat dari kisah lalu yang tak selayaknya ia lupakan. Maka, ia kembali berlari.
Aya menenteng sebelah sepatunya. Ia kembali berlari, menuju angkutan yang rela menunggunya hingga sepetang ini.
“Pak, Pak, bangun!”
Ia tergesa membangunkan sopir tua itu, yang terkejut karena hari telah petang tampak begitu indah.
“Ya, ya, Non, Masuk! Mau kemana sekarang? Hari sudah hampir malam.” Sopir itu menyalakan mesin mobil.
“Kembali. Ya, antar saya kembali, Pak!” katanya, terburu-buru.
“Kembali kemana Non?”
“Antarkan saya kembali ke masa kini.”
Senja yang indah itu terus membuntutinya. Semua orang yang Aya jumpai di perjalanan terpukau melihat pesona alam yang tak biasa itu. Mereka tak pernah tahu bahwa ada seorang gadis yang melarikan diri dari sebuah janji suci, yang melintasi mereka dalam sebuah angkutan umum, yang membawanya kembali ke pelabuhan.
Ia pun kembali ke pelabuhan dan telah kehilangan kapal terakhir. Namun, cinta terus memaksanya kembali ke pada masa kini. Tangan kanan menggenggam krisantenum dan tangan kirinya menenteng sebuah sepatu kaca.
Malam nyaris sempurna. Pria itu masih terduduk termangu di tangga gedung pernikahan. Tangan kanannya memegang sepatu kaca dan tangan kirinya menggenggam arloji rantai. Ia melihat jauh di barat sana, langit malam berwarna senja. Hatinya bergemuruh.
“Mungkinkah Aya akan kembali?”
Ia tahu, senja itu seperti senja yang ia lihat dua tahun lalu. Maka, ia pun tahu, menunggu adalah jalan paling benar. Sedetik kemudian arloji menunjukkan angka dua belas tanpa sudut. Senja melesat dengan cepat mengantarkan Aya kembali padanya.
“Sam.”
Pria itu terpaku. Ia berdiri dengan senyum penantian. “Aya....”
-Tamat
By : Wa Ode Wulan Ratna
0 Response to "Cerpen: Di Ujung Senja"
Post a Comment