Cerpen: Pagar

Apa reaksi Mas Ario jika mengetahui bahwa wanita yang dinikahinya dua bulan lalu itu ternyata anak seorang wanita malam?

Mata Nina membulat. Wajahnya yang putih memerah seketika. Bergegas Nina turun dan masuk ke halaman rumahnya.

“Bu, ongkos taksinya belum di bayar!”

Tersadar, Nina segera mengangsurkan selembar dua puluh ribuan kepada supir taksi, yang mengantarnya pulang sore itu.

“Kurang, bu!” teriak bapak setengah baya dari dalam taksi birunya.

“Berapa lagi?” tanya Nina tidak sabar.

“Delapan ribu lagi,” jawab bapak tersebut, setelah melihat argometernya.

Nina segera mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan lagi dari dalam tas hitamnya.

“Kembaliannya, Bu!” seru bapak itu lagi.

“Ambil saja,” jawab Nina, ketus.

Sambil tersenyum senang, sopir taksi itu segera melarikan mobilnya, takut Nina berubah pikiran.

“Sudah pulang, Nin?” tiba-tiba wajah Ario tersembul dari balik pagar berwarna hijau lembut.

“Apa-apaan, sih, ini?” tanya Nina, sambil memerhatikan pagar rumahnya dari atas sampai bawah.

“Pagar baru rumah kita, bagus ya?” jawab Ario, santai.

“Kenapa jadi begini? Nina kan pesen yang tingginya dua meter. Kenapa jadi seperti ini?” tanyanya pada Ario.

Nina tidak habis pikir. Seharian kemarin dia bolak-balik keluar-masuk tempat pemesanan pagar. Akhirnya, didapat juga pagar rumah yang cocok. Sudah dibayar lunas. Mereka berjanji, pagar sudah selesai dipasang di rumah Nina begitu ia pulang kantor sore ini. Tapi, yang sekarang  terpasang di depan rumah Nina bukan pagar yang dicarinya kemarin. Bukan pagar yang tingginya dua meter, melainkan yang hanya sebatas dada Nina.

“Bukan ini pagar yang Nina pesan kemarin!” jerit Nina, tertahan.

“Ah, lebih bagus yang ini. Coba lihat, cocok kan dengan bentuk taman dan rumah kita,” kata Ario, sambil merangkul pundak istrinya. 

“Bagus apanya?” Nina menepis tangan Ario dengan kasar.

Untung saja , Ario masih cukup bersabar meladeni kemarahan istrinya. 

“Yang kamu pilih kemarin tidak cocok dengan rumah kita. Rumah kita jadi lebih mirip penjara ketimbang rumah tinggal. Kesannya tidak welcome. Nanti orang-orang tidak mau mampir ke rumah kita lagi.”

Nina memandang wajah suaminya. Ia tidak habis mengerti. Kemarin Ario setuju saja dengan pagar pilihan Nina. Kenapa sekarang berubah?

“Berhenti, berhenti semua!” teriaknya.

Beberapa tukang yang sedang memasang pagar terkejut mendengar jeritan Nina, apalagi Ario yang tepat berdiri di samping Nina. Ario memandang wajah istrinya dengan tatapan bingung. Masa masalah pagar saja bisa membuat Nina semarah itu?

“Bongkar! Copot lagi pagarnya!” Katanya, lagi.

Ario kaget melihat reaksi istrinya. “Nina maksud kamu apa? Kenpa harus dibongkar lagi? Ini kan sudah hampir selesai.”

“Saya bilang bongkar!” katanya, dengan nada lebih keras.

“Pak?” mandor tukang memandang Ario. Dari pandangan matanya, ia meminta pendapat Ario.

“Diteruskan besok saja. Sekarang bapak bisa pulang,” jawab Ario tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Nina, yang tampak sangat gusar. Wajah Ario yang awalnya tenang mulai berubah.

“Jangan besok, sekarang juga semua harus dibongkar!”

“Nina, ini sudah hampir maghrib. Kasihan bapak-bapak ini. Mereka sudah bekerja sejak pagi tadi. Besok saja diselesaikan,” bujuk Ario perlahan. Suaranya melembut. Ia tahu persis, sikap Nina itu tidak akan berubah jika dibalas dengan kata-kata yang sama kerasnya. Jadi, Ario yang harus mengalah.

“Tapi...”

“Besok semua akan beres. Benar kan, pak?” kata Ario, sambil memberi kode kepada mandor agar menuruti kata-katanya.

Mandor tersebut ragu-ragu, tapi ia menganggukan kepalanya.

“Sudah, ayo kita masuk,” kata Ario, sambil membimbing tubuh Nina yang sedikit gemetar.

“Tidak dihabiskan tehnya?” tanya Ario, ketika melihat cangkir putih di sisi tempat tidur Nina masih penuh.

Bukannya menjawab, Nina malah membuang pandangan ke arah lain. Ario mengerti, sikapnya ini pasti masih ada hubungannya dengan kegusaran Nina sore tadi.

“Nin, kamu mau ngomong soal ini?” tanya Ario lagi, sambil duduk disamping istrinya.

Nina membalikkan badan, memunggungi Ario, dan mengambil guling besar untuk menutupi wajahnya. 

“Nin?” Ario memanggil lagi dengan suara pelan.

Nina masih diam.

“Baiklah, kita bicara lagi besok.”

Ario menyerah. Ia berjalan pelan keluar dari kamar tidur yang didominasi warna putih itu.

Nina menarik wajahnya dari balik guling dan melirik ke arah punggung Ario yang berjalan menjauhinya. Nina menarik napas panjang dan duduk memeluk lututnya diatas tempat tidur besar yang kasurnya sangat empuk.

Ario tidak akan mengerti. Ario tidak akan pernah memahami alasannya. Kata-kata itu terus yang berputar-putar di kepalanya. Bagaimana bisa mengerti, Nin, kalau kamu tidak menjelaskan pada Ario? Suara di hati kecilnya berbisik lirih.

Ya, mungkin sekarang saatnya Ario tahu. Sudah sejak dulu Nina ingin menceritakannya. Tapi, ia tidak punya cukup keberanian untuk itu. Apakah Ario akan mengerti? Bisakah Ario menerimanya? Apa yang akan dilakukan Ario setelah mengetahui semuanya? Apakah Ario akan meninggalkannya?

Nina menutup matanya rapat-rapat. Ia tidak berani membayangkan kalau hal itu terjadi. Akan seperti apa hidupnya tanpa Ario?

Tiba-tiba Nina mendengar suara ribut  dari balik pintu kamar tidurnya. Itu pasti Ario yang menjatuhkan stick golf. Sudah berulang kali Nina mengingatkan Ario agar tidak menaruh stick golf  di bawah meja konsol. Stick itu selalu membuat orang tersandung ketika melewati lorong.

Ah, Nina begitu mencintai suaminya, walaupun ia ceroboh, tidak rapi, dan sangat pelupa. Pakah Ario akan tetap mencintainya kalau ia tahu?

“Bertengkar lagi dengan Ario?” tanya ibu Nina, seakan mengetahui yang ada di dalam kepala Nina.

Nina diam saja , tak menjawab.

“Sekarang soal apa?” tanya ibunya lagi, yang hafal dengan adat anak semata wayangnya itu.

Nina hanya datang kerumah ibunya malam-malam seperti ini jika sedang bertengkar dengan Ario atau sedang kehabisan kopi. Nina pecandu kopi dan ia sangat menyukai kopi yang digiling sendiri oleh ibunya. Kopi yang di campur dengan bahan-bahan rahasia.

“Tidak baik seperti ini. Suami-istri kalau bertengkar sebaiknya segera diselesaikan. Jangan dibiarkan berlarut-larut,”

Tiba-tiba Nina sangat membenci wanita setengah baya yang masih sangat cantik dihadapannya itu. Dari mana ibunya tahu masalah yang biasa dihadapi suami-istri? Bukankah ibunya tidak pernah mempunyai suami? Bahkan, Nina tidak yakin, ibunya mengetahui ayah Nina yang sebenarnya.

Rasanya, Nina ingin sekali meneriakkan apa yang ada di dalam hatinya saat itu. Ibunya tidak bisa menasehatinya soal kehidupan suami-istri. Tapi, kata-kata itu hanya memenuhi tenggorokan Nina. Ia masih mempunyai kekuatan besar untuk menahan ucapannya. Sampai saat ini Nina masih berhasil menjaga perasaan ibunya.

“Kemarin Ario menelepon ibu,” kata ibunya, pelan.

Telinga Nina tegak mendengar kata-kata itu.

“Kalian bertengkar soal pagar rumah yang baru?” tanya ibunya, lagi.

Nina tidak menjawab.

“Ario bingung, Kenapa kamu sangat marah kemarin sore. Ada apa, Nina?”

Nina masih diam.

“Ibu sudah lihat pagar baru rumahmu. Ibu pikir, pagar itu bagus. Cocok, kok, dengan rumahmu. Jadi, kenapa harus marah-marah?”

“Ibu tidak tahu. Ibu tidak mengerti!” potong Nina.

“Ya, kalau kamu tidak menjelaskan pada Ibu dan Ario, kami tidak akan tahu dan tidak akan bisa mengerti,”

Nina membuang mukanya. Bibirnya masih terkatup rapat.

“Nin?”

Diam.

“Nina?”

Hening.

“Nina?”

“Ario sudah setuju dengan pagar yang tinggi. Bukan seperti yang sekarang ini.” Tangis Nina pecah.

Ibu menunggu penjelasan Nina selanjutnya.

“Nina takut,” Ujar Nina, Setelah agak tenang.

Ibu mengangsurkan selembar tisu kepada Nina.

“Nina takut, ada orang yang masuk ke rumah saya. Nina ingin merasa nyaman di dalam rumah. Karena itu, Nina pilih pagar yang besar dan tinggi. Tapi, Ario bilang, dengan pagar seperti itu rumah kami malah seperti penjara.”

“Bukankah sudah ada satpam yang menjaga rumahmu? Lingkungan di perumahan itu juga aman. Jadi, pakai pagar yang pendek pun akan tetap aman. Bahkan, Ibu pikir tanpa pagar pun lingkungan rumahmu tetap aman.”

“Ya, lingkungan aman, seperti rumah Eyang dulu waktu di Semarang. Kemudian, ada orang yang masuk. Mungkin salah satu pelanggan Ibu, yang ketika tidak menemukan Ibu di rumah, malah mencoba memerkosa Nina? Atau, lingkungan aman seperti rumah kita dulu di Yogya dan ada orang yang memerkosa Nina di siang bolong?”

Isak Nina memecah kebisuan malam itu. Ibunya tercekat mendengar kata-kata Nina.

“Nina hanya ingin mencegah hal itu terulang kembali. Nina takut. Nina hanya ingin merasa aman. Tapi, apa mungkin Nina ceritakan hal itu pada Mas Ario? Apa reaksi Mas Ario jika mengetahui bahwa wanita yang dinikahinya dua bulan yang lalu adalah anak dari seorang wanita malam? Bahwa wanita yang dinikahi dua bulan lalu sebenarnya tidak perawan lagi? Bahwa tiga belas tahun yang lalu ada yang....”

“Aku akan tetap mencintai wanita itu.”

Sebuah suara mengagetkan Nina. Ia menoleh, mendapati Ario telah berdiri di belakangnya.

“Mas....”

“Ibu sudah menceritakannya,” kata Ario, lagi.

Nina menatap wajah wanita di hadapannya, yang sudah bersimbah air mata.

“Ibu....”

Ibu mengangguk.

“Maaf, Nin. Ibu tidak mau kamu kecewa nantinya. Jadi, ketika kencan kalian yang kedua, Ibu menceritakan hal itu pada Ario.”

Nina menatap suaminya. Ario mengangguk.

“Itu bukan salahmu. Dan, aku akan tetap mencintai kamu.”

“Kita pulang, yuk. Pagar dua meter yang kamu mau sudah selesai di pasang. Aku suruh Pak Mandor untuk menambah anak buahnya supaya ketika kamu pulang malam ini, semua sudah rapi. Biarin, deh, rumah kita seperti penjara, asal kamu senang.”

Nina tersenyum.

“Bu...”

Ibu mengangguk. “Pulanglah. Kasihan Ario. Dia tidak bisa menemukan kaus kakinya di rumah kalian yang sebesar itu, kalau kamu tidak membantu mencarikannya, Nin.”

Nina tertawa kecil. Biarpun ceroboh, Nina tetap mencintai lelaki berhati emas ini.


-Tamat

By Mindo Meiniar Arriany



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Cerpen: Pagar"

Post a Comment