Cerpen: Hari Ketujuh di Apartemen
Apartemenku bersebelahan dengan pekuburan. Bukannya takut, aku malah asik mengamati setiap kali ada prosesi pemakaman...
Pagi ini aku sangat bahagia. Baru setahun yang lalu aku mengikat janji dengan Mas Indra. Upacara perkawinanku berlangsung sempurna. Semua serba putih. Kebaya yang kukenakan. Bunga-bunga yang diletakan disetiap sudut Ballroom. Kain-kain tipis yang menghiasi dinding. Persis seperti pernikahan impianku.
Baru kemarin kami pindah ke Apartemen Taman Bunga yang berada di slah satu jalan di kawasan bisnis Jakarta. Aku menengok ke arah jam weker yang berada dimeja kecil, disamping tempat tidur. Sudah pukul 8 pagi. Aku masih bermalas-malasan ketika Mas Indra mengecup dahiku, berpamitan karena hari senin pagi ini Ia harus berangkat lebih awal. Katanya, sebelum ke kantor, Ia harus menghadiri seminar penting.
Tinggal di apartemen telah menjadi mimpiku selama ini. Proses pindah rumah berlangsung cepat. Salah satu teman mas Indra bertugas ke luar negeri, sehingga harus meninggalkan apartemennya. Ia menawari kami untuk tinggal di apartemennya. Karena harganya cukup murah, tanpa berfikir panjang kami menerima tawarannya. Sebelumnya, kami tinggal disebuah perumahan di Jakarta Selatan, yang berbatasan dengan Tangerang.
Apartemen ini cukup strategis. Pergi ke kantor atau pulang ke rumah, Mas Indra tak perlu lagi menghadapi kemacetan yang selama ini menjadi santapannya sehari-hari. Selain itu, apartemen ini cukup nyaman. Sebagai pasangan yang belum memiliki anak, ruangan yang kami tempati terasa begitu luas. Letaknya dilantai 8. Tepat ditengah-tengah gedung. Kami bisa menikmati keindahan Jakarta, sekaligus semrawut-nya kota ini, dari jendela apartemen kami.
Di depan apartemen terdapat jalan utama yang membelah Jakarta di bagian tengah. Disisi barat apartemen terdapat taman pemakaman yang rindang oleh pepohonan dan taman makan yang berumput hijau. Kebetulan, kamarku berada di bagian paling barat, membuatku mudah menikmati pemandangan pemakaman tersebut.
Awalnya, aku agak terganggu oleh suasana makam. Tapi anehnya, setelah tinggal sehari, aku langsung merasa terbiasa. Aku mengabaikan pesan seorang teman, yang menganjurkan agar diatas plafon rumah ditempatkan cermin untuk menolak energi buruk dari arah pemakaman.
Ajaran itu tak menarik bagiku. Tinggal di apartemen yang ‘bertetangga’ dengan pemakaman bukannya takut, aku malah mulai asyik setiap kali memandang ke arah pemakaman. Apalagi bila ada prosesi pemakaman. Aku juga tak memikirkan fondasi apartemen. Katanya, apartemen ini dulunya merupakan pemakaman umum juga.
Jadwalku pada hari ke dua tinggal di apartemen ini adalah membereskan barang-barang. Semalam ketika baru pindahan, kami kelelahan, sehingga masih banyak barang berceceran.
Ketika sedang menggeser meja rias, pandanganku kembali mengarah ke jendela. Ah...makam itu. Entah mengapa , makam itu selalu menarik perhatianku. Sedang ada sekumpulan orang di sebuah sudut. Di sela-sela kegiatanku bersih-bersih apartemen, aku mengamati keramaian disana. Tampak jelas bahwa itu merupakan sebuah prosesi pemakaman.
Aku beristirahat dan menikmati roti coklat sisa kemarin yang masih terlihat segar. Kuraih kursi dan duduk menghadap makam. Upacara pemakaman itu tak tampak jelas. Tapi, aku bisa merasakan suasana duka yang meliputi orang-orang itu. Semua berbaju hitam. Sepertinya, sudah lama aku tidak mengikuti upacara pemakaman. Terakhir kalinya adalah ketika Paman Adi meninggal. Aku ikut mengantar jenazahnya sampai kuburan dan mengikuti seluruh prosesinya.
Satu jam berlalu. Aku masih terhanyut menyaksikan upacara pemakaman itu. Kuamati lagi makam itu. Tampaknya, ada dua upacara pemakaman di dua kuburan yang bersebelahan. Setelah sekian lama, para pelayat pun menghilang. Yang kulihat saat ini hanyalah beberapa kepala yang masih mengitari dua makam itu. Kepala-kepala mereka dilindungi payung hitam. Mungkin, mereka keluarga dekat dari orang-orang yang baru dimakamkan. Apakah mereka meninggal di saat yang sama? Kok, pemakamannya bisa barengan?
Sudah tiga hari aku menempati apartemen ini. Makin lama, aku makin senang tinggal di sini. Mas Indra bisa pulang lebih awal dari kantornya. Tapi, sehari-hari aku merasa kesepian. Karena, kami belum berkenalan dengan tetangga di kanan-kiri. Aku sadar, hidup di apartemen membatasi pergaulanku dengan tetangga.
Aku melihat, mereka yang tinggal di apartemen umumnya lebih memilih kehidupan menyendiri. Sepulang dari kantor, mereka masuk ke apartemen dan tak ke luar lagi sampai keesokan harinya. Jadi, sulit bagiku untuk menjalin persahabatan dengan mereka.
Malam kemarin, seusai berjalan-jalan di sekitar apartemen, kami melihat tetangga yang tinggal di kanan apartemen kami. Ingin sekali aku menyapa pria itu. Namun urung aku lakukan. Karena, ketika akan menghampirinya, dia malah tampak ketakutan dan tergesa-gesa masuk kamarnya. Aku dan Mas indra tertawa kecil.
“Nanti, lama-kelamaan juga kita akan mengenal mereka. Ayo Sin, kita masuk saja,” kata Mas Indra.
Suatu siang, setelah empat hari aku menempati apartemen ini, aku kembali menikmati suasana pemakaman di seberang sana. Hei, ada apa di makam kembar kemarin? Sebuah kesibukan terjadi disana. Dari kejauhan aku melihat beberapa wanita dan pria berdiri mengelilingi kedua makam itu. Kelihatannya mereka sedang berziarah. Oh...hari ini mungkin hari ketiga meninggalnya kedua orang itu. Memang, biasanya pihak keluarga akan berziarah pada hari ketiga setelah kematian seseorang.
Malamnya, ketika kami menikmati makan malam, aku bercerita pada Mas Indra tentang suasana pemakaman dan tentang dua makam baru yang ada di sana. Dia hanya tersenyum.
“Berarti, kau memang betah tinggal disini, kalau ingin lebih jelas melihat kesibukan disana, nanti akan kucarikan teropong untukmu,” kata mas Indra.
Ah, menarik juga. Melalui teropong, aku akan bisa melihat aktivitas pemakaman secara lebih jelas. Aku juga bisa melihat pemandangan lainnya di sekitar apartemen.
Keesokan harinya, usai mengantar Mas Indra menuju lift, aku berpapasan dengan tetangga yang kemarin. Kali ini aku memasang wajah sombong. Dia menatapku yang sedang membuka pintu. Aneh juga tetanggaku ini. Dia terus menatapku dan bergegas pergi ketika aku melewati pintu yang sudah setengah terbuka.
Siang harinya aku bertemu dengan istri tetanggaku itu di depan lift. Ketika kusapa, dia tak menjawab, malah melengos pergi. Akhirnya, setiap kali bertemu dengannya, aku memilih pura-pura tak kenal. Sudahlah, aku tak perlu repot menjalin pertemanan. Toh, aku juga menikmati kehidupanku di sini bersama Mas Indra.
Di dalam kamar, tatapanku melayang kembali ke area faforitku, yaitu pemakaman. Ada apa lagi di sana? Kali ini pengunjung di makam kembar itu jauh lebih banyak dibandingkan kemarin. Di sekitarnya ada beberapa bahan bangunan. Sepertinya, beberapa pekerja tengah memugar makam tersebut. Ada pula beberapa orang yang tampak masih berduka.
Aku bergegas mengambil teropong yang masih rapi dalam bungkusnya. Betapa senangnya aku mendapatkan alat perpanjangan mata itu. Aku segera meneropong ke arah pemakaman. Di bagian utara, ada sebuah kuburan yang tengah di gali oleh beberapa pekerja makam. Wah, akan ada penghuni baru nih, pikirku.
Pandanganku menyapu seluruh pemakaman. Teropong kuarahkan ke makam kembar. Ada empat pekerja sedang membangun dua makam itu. Aku ingat, ini hari ketujuh. Pasti mereka sedang berziarah lagi. Kegiatan yang lazim di lakukan setelah hari ketujuh kematian seseorang.
Astaga! Wanita berpayung abu-abu itu! Hei, itu kan mama! Sedang apa mama di sana? Benarkah itu mama? Teropong kuperjelas. Benar, itu mama. Disebelahnya adalah Aldy, adik bungsuku.
Aku makin bertanya-tanya, Di kuburan sebelahnya, aku menangkap wajah bunda Wati, itu ibu mertuaku. Di sisinya ada Hanung, adik iparku. Aku makin tak mengerti. Ada seorang pria yang berdiri tak jauh di belakang mereka. Dia tertunduk lesu, mengamati orang-orang di dekat makam. Aku memerhatikan pria berbaju dan bercelana putih itu dengan seksama. Hah, Mas Indra! Apa-apaan ini? Apakah ada keluargaku yang di makamkan di sana? Kalau ada, kenapa aku tak di beri tahu?
Aku ingin ke sana. Aku ingin tahu, mengapa Mama, Bunda, adikku, adik iparku dan juga Mas Indra berada di makam itu. Makam yang selama ini menarik perhatianku, karena kehadirannya hampir bersamaan dengan kepindahanku ke apartemen ini.
Hanya perlu lima menit bagiku untuk tiba di sana dengan napas memburu. Di sana? Kalau ada, kenapa aku tak di beri tahu?
Aku ingin ke sana. Aku ingin tahu, mengapa Mama, Bunda, adikku, adik iparku dan juga Mas Indra berada di makam itu. Makam yang selama ini menarik perhatianku, karena kehadirannya hampir bersamaan dengan kepindahanku ke apartemen ini.
Hanya perlu lima menit bagiku untuk tiba di sana dengan napas memburu. Ku dekati makam tersebut. Semua tampak hanyut dalam kesedihan. Mereka tak sadar ketika aku mendekat dan menghampiri mereka. Tiba-tiba tangan Mas Indra meraih lenganku.
Aku bertanya, “Kenapa mereka di sini? Ini makam siapa?”
“Tenang Sinta, jangan ganggu mereka. Mama dan Bunda sedang berziarah, sekaligus melihat pembangunan makam dua orang yang mereka cintai,” katanya, dengan tenang.
“Siapa?” sergahku, tak sabar. Aku menyapa Mama yang hanya berjarak dua meter di depanku.
Ia diam saja, tak menjawab sapaanku. “Bunda,” aku memanggil ibu mertuaku. Sama saja, dia juga bergeming. Ada apa ini?
Perlahan Mas Indra mendekatiku, membimbingku untuk berjalan lebih dekat ke makam. Di sisi makam ada sebuah papan nisan. Sebuah nama yang sangat aku kenal tertulis rapi dengan cat putih. Indra Nuartha. Hah! Itu kan nama suamiku? Mas Indra di kubur? Dia kini ada di sampingku. Sejurus kemudian lebih dekat ke makam. Di sisi makam ada sebuah papan nisan.
Sebuah nama yang sangat aku kenal tertulis rapi dengan cat putih. Indra Nuartha. Hah! Itu kan nama suamiku? Mas Indra di kubur? Dia kini ada di sampingku. Sejurus kemudian, Mas Indra menarik lenganku menuju makam di sebelahnya. Aneh, keluargaku yang lain seolah tak perduli dengan kehadiran kami berdua.
Di makam sebelah aku lebih kaget lagi., Mas Indra menarik lenganku menuju makam di sebelahnya. Aneh, keluargaku yang lain seolah tak perduli dengan kehadiran kami berdua.
Di makam sebelah aku lebih kaget lagi. Aku melihat nama yang tak kalah asing. Sinta Citrasari. Bumi seperti berputar di sekitarku. Aku berdiri lemas, masih di papah Mas Indra. Itukan namaku? Kok, ada di nisan itu?
Mas Indra mengajakku duduk di sisi kedua makam itu.
“Maafkan aku Sin. Aku merasa bersalah sekali. Karena itu, aku tak pernah mengajakmu ke sini. Aku ingin kau bahagia di apartemen kita. Aku membuat hidup kita berdua hancur. Impian kita berantakan,” katanya.
Aku tak mengerti dengan segala ucapan Mas Indra. Apa hubungannya dengan kedua makam ini?
Lalu, Mas Indra melanjutkan ucapannya,
“Hari minggu pagi, persisnya sepekan yang lalu, kau ingat kan, kita pulang dari rumah Mama di Bintaro. Mobil yang kita kendarai di serempet truk di sebuah tikungan menuju rumah. Aku tak sanggup mengendalikan setir dan membantingnya ke kiri hingga menghantam tiang listrik. Kita berdua terjepit di dasbor mobil. Kau meninggal seketika. Aku sempat di bawa ke rumah sakit, walau tetap tak bisa di selamatkan,” ujarnya sambil menunduk.
“Lalu, mengapa kau mengajakku pindah ke apartemen itu?” Aku menunjuk lantai delapan, tempat kamar kami berada.
“Aku merasa bersalah. Walau hanya tujuh hari, aku ingin membahagiakanmu dengan tinggal di sana. Aku percaya, kita akan menuju rumah yang lebih indah lagi setelah hari ke tujuh ini, Sin,” ujar Mas Indra tenang.
-Tamat
by : Amir Hamzah
0 Response to "Cerpen: Hari Ketujuh di Apartemen"
Post a Comment