Pelajari Mengelola Amarah Yuk! Menurut M.M. Nilam Widyarini, M.Psi.
Marah adalah salah satu bentuk emosi negatif. Disebut negatif bukan karena emosi ini sering melahirkan tindakan agresi atau kekerasan, melainkan karena adanya rasa tidak senang dalam diri orang yang mengalaminya. Bentuk-bentuk emosi negatif yang lain diantaranya adalah kecewa, sedih, takut, jijik. Sedangkan yang termasuk emosi positif adalah hal-hal yang menimbulkan rasa senang, antara lain bahagia, cinta, kagum dan terpesona.
Marah merupakan emosi yang memiliki daya dorong sangat kuat untuk bertindak sesuai dengan emosi tersebut, yakni tindakan agresif. Oleh karena itu, tidak mudah untuk mengelola marah agar tidak berdampak negatif bagi diri sendiri maupun orang lain.
Baca juga : Sedang Emosi atau Cemas? Lakukan Butterfly Hug, Menurut Psikolog Veronica Adesla, M.Psi
Manfaat Positif
![]() |
M.M. Nilam |
Dengan demikian, jangan ada anggapan bahwa amarah itu selalu berbahaya. Marah sangat bermanfaat terutama untuk kepentingan pendidikan, yaitu untuk menghentikan perilaku yang bertentangan dengan norma secara universal. Meski demikian, marah sebaiknya hanya dilakukan pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik.
Guru atau orang tua yang mendapati murid atau anaknya melakukan tindakan yang tercela (misalnya mencuri) sangat layak untuk marah. Agar anaknya dengan suka rela benar-benar mau menghentikan perilakunya yang tercela tanpa disertai rasa sakit hati, anak itu dimarahi di dalam ruang tertutup (tidak dipermalukan di depan orang lain) dengan terlebih dahulu ditanyai alasannya mencuri, dan diberi kesempatan untuk menilai perilakunya sendiri. Setelah itu saksi tegas tetap diberikan tetapi tanpa ungkapan kekerasan.
Beberapa pendekatan (sudut pandang) dapat kita jadikan acuan untuk memahami tentang proses amarah dan untuk hidup damai tanpa kemarahan yang destruktif. Berikut ini terlebih dahulu kita mengupasnya dari sudut pandang konsep kecerdasan emosi yang dikemukakan oleh Daniel Goleman.
Baca juga : Orang yang Introvert Berbahaya? Menurut Wieke Dyah, M.Psi
Terjadinya Marah
Mengikuti hasil-hasil penelitian Zillman mengenai marah, Gpoleman menjelaskan pemicu marah yang paling umum (universal) adalah perasaan bahaya. Ancaman yang dimaksud bukan saja berupa ancaman fisik langsung, melainkan seperti yang terjadi, berupa ancaman simbolik yang menyinggung harga diri atau martabat, misalnya diperlakukan tidak adil, dikasari, dicaci maki, diremehhkan, frustasi setelah mengejar target penting.
Persepsi seseorang bahwa dirinya terancam ini meupakan pemicu awal bagi lonjakan pada bagian otak yang disebut sistem limbik, yang berakibat ganda pada otak.
Lonjakan pertama adalah dikeluarkannya zat katekolamin, yang membangkitkan gelombang energi cepat sesaat, sebagai mekanisme spontan untuk berkelahi atau kabur (fight or flight). Keadaan ini berlangsung beberapa menit dan menyiagakan tubuh untuk siap tempur atau segera kabur.
Lonjakan kedua, ditimbulkan oleh amigdala melalui cabang adrenokorteks dalam sistem saraf, menciptakan suatu kondisi umum tubuhyang siap bertindak. Hal ini berlangsung lebih lama daripada lonjakan energi katekolamin, bahkan dapat berlangsung berhari-hari. Kondisi ini dapat menjelaskan mengapa pada umumnya orang menjadi begitu mudah marah bila mereka telah distimulasi oleh suatu hal.
Berbagai macam jenis tekanan (pekerjaan, penyakit, dan sebagainya) menciptakan rangsangan terhadap adrenokorteks. Keadaan-keadaan seperti anak rewel, yang dalam kondisi biasa tidak cukup kuat untuk memicu keadaan emosi y ng tak terkendali (pembajakan emosi), ketika orang yang bersangkutan sedang lelah bekerja, dapat sangat mudah memancing marah.
Salah satu eksperimen lain yang dilakukan oleh Zillmann menemukan bahwa dalam keadaan tidak sadar ada sesuatu yang memicu pembajakan emosi, sehingga emosi berikutnya intensitasnya akan sangat tinggi. Hal ini menjelaskan keadaan orang yang mengamuk. Suatu pikiran atau persepsi yang muncul belakangan dalam rangkaian emosi marah ini memicu intensitas marah lebih hebat daripada pikiran atau persepsi yang muncul sebelumnya.
Dalam keadaan seperti itu amarah yang tak terkendali lagi oleh nalar dengan mudah meletus menjadi tindakan kekerasan. Orang menjadi mudah tak memaafkan dan tak dapat berpikir jernih. Yang mereka pikirkan hanyalah seputar balas dendam, lupa akan akibat yang dapat muncul belakangan.
Tahap arousal (lonjakan fisiologis) yang tinggi seperti ini menurut Zillmann menimbulkan ilusi kekuasaan dan kekebalan yang mungkin mengilhami dan memudahkan terjadinya agresi.
Baca juga : Ketika Pernikahan Hanya Sebuah Kedok Menurut Dra. Louise Maspaitella, M.Psi
Benarkah Marah Perlu Dilampiaskan?
Banyak orang beranggapan bahwa marah itu perlu dilampiaskan. Asumsinya, katarsis (pelampiasan marah) akan membuat orang yang marah merasa lebih enak. Itulah sebabnya mereka yang frustasi seringkali melampiaskan amarahnya dengan melakukan aksi kekerasan. Mereka mengira bahwa dengan melampiaskan kemarahan seperti itu akan meredakan rasa frustasinya.
Namun, ternyata berdasarkan temuan Zillmann dan para ahli psikologi yang telah berulang-ulang menguji efek katarsis sejak tahun 1950-an, katarsis tidak meredakan marah. Tokoh lain, Tice menegaskan bahwa katarsis merupakan cara terburuk untuk meredakan marah. Mengapa? Ledakan marah biasanya memompa otak emosional, sehingga orang yang mengalaminya menjadi lebih marah dan memperpanjang suasana marah.
Baca juga : Hidup Dibawa Senang Sajalah.. Menurut Dra. Ratih Andjayani Ibrahim, MM. Psi
Langkah-langkah Meredakan
Tice menyatakan bahwa yang lebih efektif untuk meredakan marah adalah dengan menenangkan diri. Selanjutnya dengan cara yang lebih konstruktif dan terarah menghadapi orang yang menjadi sasaran marahnya untuk menyelesaikan persoalan.
Zillmann mengemukakan adanya 2 cara untuk meredakan marah :
Pertama, dengan menggunakan dan mengadu pikiran-pikiran yang memicu lonjakan marah. Artinya, kita harus kritismenilai pikiran-pikiran kita sendiri yang memicu lonjakan marah. Selain itu juga dengan memahami orang lain. Hal ini terbukti dari eksperimen Zillmann yang menunjukkan bahwa orang yang telah memahami dan dapat menerima alasan tindakan pihak lain yang memicu kemarahannya, akhirnya kemarahannya mereda.
Kedua, meredakan marahsecara fisiologis. Hal ini dilakukan dengan menunggu habisnya (berhentinya) lonjakan adrenalin dalam kondisi yang hampir tidak mungkin ditemukan pemicu-pemicu kemarahan lebih lanjut, misalnya dengan menyendiri di taman yang indah sepi. Cara lain adalah dengan berolahraga dan rileksasi (menarik napas dalam dan pelemasan otot-otot).
Semoga bermanfaat,
0 Response to "Pelajari Mengelola Amarah Yuk! Menurut M.M. Nilam Widyarini, M.Psi."
Post a Comment