Cerpen: Still Friend

Menjelang malam, Dossy gelisah. Tidak ada yang menarik hatinya untuk dilakukan. Biasanya kegiatan favoritnya sepulang kantor adalah menonton berita malam. Sayangnya kegiatan itu tidak mengobati. Sebenarnya malam itu hening, tapi di kepala Dossy, kejadian siang tadi seperti kaset yang terus memutar. Ingin sekali ia menghentikannya. Tetapi semakin berusaha, semakin kuat wajah itu membayangi.


Pagi tadi pukul 08.00. Dossy terburu-buru mempersiapkan bahan presentasi morning meeting untuk kantor (hari sebelumnya sudah bela-belain lembur). Malam sebelumnya, ia mempersiapkan polesan akhir presentasinya dan tertidur di ruang kerja. Paginya, ia terbangun dan kaget setengah mati karena wktu sudah menunjukkan pukul 06.30 WIB. Buru-buru mandi, dandan rapi dengan busana dan asesoris yang sudah disiapkan. Hari ini harus menunjukkan penampilan terbaik. Bukankah hasil presentasi sering memengaruhi bos mengambil keputusan untuk bonus tahunan?

Pakaian sengaja dipilih dari stok baru, eye catching tapi nggak norak. Latihan berbicara di depan audience di kaca kamar mandi sudah dilakukan. Meskipun presentasi di kantor bukan hal baru buat Dossy, tapi latihan di depan kaca adalah ritual yang selalu dilakukannya sebelum presentasi. Dengan begitu, kalimat yang diucapkan lebih terasa meyakinkan. Apabila presentasi ini sukses, dapat memberikan poin lebih untuk performa akhir tahun.

Siang pukul 12.00, presentasi telah dilakukan dengan selamat. Pertanyaan demi pertanyaan dijawabnya dengan ringan dan tepat sasaran. Untung si Bos kadang menyelamatkan dengan membantu menjelaskan ke peserta, melengkapi jawaban Dossy. Beruntung bosnya smart dan menguasai permasalahan. Meeting selesai dengan sukses. Lega rasanya melihat para peserta yang terlihat puas.

Puihh.. syukurlah, meskipun tidak seluruhnya selesai karena tugas selanjutnya adalah memperbaiki presentasi itu dengan memorandum kebijakan dari masukan peserta. Tapi, setidaknya tahapan presentasi (layaknya ujian itu) sudah dilalui. Revisi bisa dilakukan setelahnya.

Jam sudah menunjukkan lunch time. Persiapan presentasi tadi sungguh menguras tenaga. Jari tangan Dossy sibuk mencari nama seseorang di phone call mungil. Farta, ya Farta. Ingin sekali membagi kelegaan itu ditemani seseorang yang selama ini membuat nyaman hatinya. Suara panggilan telepon terdengar. Ditunggunya Farta mengangkat.

“Halo, tumben nelpon duluan," seru Farta. Hmm.. sedikit surprise dia.

“Far, kamu di Jakarta? lunch with me?” Tanya Dossy, mengharap.

Begitulah perasaannya setiap kali menelepon Farta. Ingin sekali punya waktu bersama Farta, tetapi Farta sangat sibuk. Waktu bersamanya sangat terbatas dan kadang terburu-buru. Apalagi ia tidak berdomisili di Indonesia. Karena kemampuannya, kariernya melesat. Jabatan terakhirnya adalah area manager Indonesia, Singapore dan Hongkong dengan Hongkong sebagai basecamp-nya. Kemampuan Farta memang patut diacungi jempol untuk pria seusianya.

“I loved too, Dossy. Tapi aku ada conference call nanti. Call you later?” Farta menjawab seperti biasa.

Dossy sedikit kecewa, tapi sudah biasa menerima penolakan Farta. Farta memang selalu sibuk sampai saat ini. Rasa bahagia atas keberhasilannya tadi sedikit menurun, hmmm… wajib mencari rencana lain untuk lunch. Ia pantang lunch sendirian.

***

Pukul 12.45

Tiba-tiba benda kecil itu mengeluarkan ringtone khasnya. Dossy melirik sebentar dan tersenyum, hmm.. dari Farta.

“Dossy, kamu belum lunch kan? Aku ke kantormu, i’ll pick you up,” suara Farta terkesan terburu-buru.

“Oh, oke, aku tunggu.” Dossy tersenyum senang. Yes akhirnya ia akan bertemu Farta.

Setelah 20 menit menunggu, mobil Farta (mobil kantor plus supir tentunya. Mana tahan dia dengan macetnya Jakarta) meluncur di lobby tempat Dossy menunggu. Dossy masuk ke mobil dan Farta tersenyum menyambutnya. Masih menggunakan setelan jas lengkap dan wangi… Farta pasti baru dari kliennya, rapih seperti biasa.

“Halo Dossy. Maaf ya membuatmu menunggu,” sambut Farta.

Senyum itu, tulus meminta maaf dan mendebarkan. Ups.. aku tak boleh terkesan berharap banget lunch dengan Farta, pikir Dossy.

“Tak apa. Toh aku tidak ada kegiatan mendesak setelah ini. Lunch dimana?”

“Terserah kamu, kamu paling jago milih tempat makan.”

Wuihh.. compliment atau basa basi? Well.. whatever deh, yang penting bisa lunch bareng.
Farta masih menatap Dossy, menunggu jawaban. Setelah menyebut salah satu resto, dan Farta setuju, mobil pun meluncur membawa mereka ke tempat tersebut. Dossy sengaja mencari tempat yang tidak terlalu banyak peminat tetapi cukup cozy untuk rendezvous berdua.


Aku sudah 4 tahun mengenal baik Farta. Mengenalnya dekat. Tetapi Farta tidak kunjung memberi tanda untuk lebih dekat denganku, pikir Dossy. Dossy bingung, mau dibawa kemana pertemanan ini. Aku sangat menikmati waktu berdua dengannya. Pengetahuannya luas, perhatian, dan yang terpenting, Farta termasuk lelaki idamanku, batinnya.

“Sudah lama ya kita nggak lunch bareng. Kangen juga. Rambutmu style-nya baru,” Farta membuka percakapan, menatap Dossy dan sedikit membelai rambutnya.

“Yup, aku baru kemarin potong rambut. You like itu?” Tanya Dossy sambil memainkan rambutnya. Dossy berusaha kalem tidak mencoba menggoda. Tetapi gejolak hatinya semakin cepat berirama.

“Cocok untuk kamu. Selalu cantik. Dan itu yang buat aku selalu kangen.”

Glek, Dossy menelan ludah. Saat-saat seperti inilah yang dirindukannya. Pertemuan dengan Farta sangat sulit. Namun sebisa mungkin ia tetap menghubungi Dossy, meski melalui Facebook, web cam atau sms, sekadar mengetahui kegiatan Dossy. Sesibuk apa pun ia selalu berusaha menanyakan kabar atau kegiatan Dossy hari itu. Tetapi untuk bertemu, sulit direalisasikan. Ada saja kendala, dari mulai Farta ada pekerjaan mendadak, jadwal rutin atau berada di negara lain untuk kunjungan.

Bila pertemuan Farta dan Dossy terjadi, itu berarti persitiwa langka. Seperti saat ini, mendadak bertemu. Yah, sebagai seorang eksekutif muda, ia memang sibuk. Profesi dan jabatan menuntutnya. Beberapa panggilan melalui phone cell Farta berbunyi, menggoda Dossy utuk sedikit cemburu. Sepertinya urusan pekerjaan. Farta selalu memohon maaf atas gangguan kecil itu.

Tatapan lembut Farta membuat Dossy salah tingkah, ah.. jangan membuatku begini.

“Aku tadi baru selesai presentasi. Lumayan, hampir semua proposalnya disetujui dengan sedikit perbaikan.” Buru-buru Dossy mengalihkan perhatiannya.

Farta lalu mengomentari isi presentasi Dossy, dan mereka terlibat pembicaraan sampai pelayan mengatur pesanan di meja.

“Yuk makan, nggak perlu diet, kamu agak kurusan,” Farta berkomentar tanpa melihat reaksi Dossy. Ia kelaparan, sepertinya. Tapi kalimat itu bentuk perhatiannya. Dossy mulai terbiasa tersanjung dengan perhatian itu.

Selanjutnya, bisa ditebak. Makan siang itu sedikit terburu-buru, nggak lebih dari satu jam karena Farta harus on schedule menghadiri pertemuan lainnya.

***

Pukul 13.30

“Bye, terimakasih joined,” kalimat itu seperti sudah Bahasa baku Farta ketika lunch selesai. Tapi ada yang lain dari biasanya. Farta memegang tangan Dossy.

“Aku ada email untukmu.”

“Mengapa tidak bicara langsung? Urusan bisnis?” Tanya Dossy penasaran. Farta hanya terdiam. Ia menggenggam tangan Dossy lama dan menatapnya. Setelah 4 tahun berteman, masih juga tidak bisa biacara langsung, membuat penasaran…

Farta menggeleng dan menghela napas berulang-ulang. Kali ini raut wajahnya berbeda. Ada apa? Dossy tidak bisa bertanya lebih lanjut karena mobil sudah berhenti di lobby kantornya. Ia menatap Farta bengong sebelum kakinya benar-benar turun dari mobil. Wah, ini makhluk Tuhan yang bikin aku bingung sekaligus mencintainya. Misterius, tak bisa lebih jauh dari sekedar teman, apakah karena jarak jauh ataukah aku yang bertepuk sebelah tangan, pikir Dossy agak sebal.

Beberapa saat terpaku, Dossy langsung meraih Phone cellnya. Dibukanya email dari Farta yang baru saja diterima.

Wedding Invitation. Gubraaaaaaaak!!! Farta? Hah? Kenapa nggak bilang-bilang sebelumnya? Ah, nggak jantan banget. Ups, tenang-tenang. Dossy berusaha mengatur napasnya, tetapi gemuruh di dadanya semakin kencang. Sepasang matanya membelalak membaca dengan tergesa-gesa invitation itu.

Beberapa pasang mata memandang Dossy di kantornya. Dia berusaha mengendalikan emosinya. Berusaha tenang namun geram. Berjalan biasa… tapi, huh, hatinya sangat hancur.

***

Rentetan kejadian itu terus berputar-putar di kepalanya. Ternyata, inilah jawabannya. Farta sudah memilih orang lain sebagai pendampingnya. Sejak kapankah? Jadi selama ini aku hanya mengisi waktu senggangnya, atau aku yang selama ini kege-eran? Ah, Farta.. keluh Dossy berulang kali dan titik air itu mengalir membasahi pipi halusnya.

Dossy langsung mengambil phone cell-nya, mencari nama FARTA. Menghapus nomor itu dengan terpaksa. Yah, biar hilang semua kenangan itu. Sebentar lagi ia milik perempuan lain.

SMS Farta yang mesra dan perhatian. Sekarang tidak ada gunanya. I miss you a lot, jangan lupa makan.. atau pesan lainnya : Aku tidak ada di dekatmu, tapi aku memantaumu, jaga kesehatan.. Buat apa lagi, sekali lagi, dia akan menjadi milik perempuan lain. Tangan mungil Dossy, tegas menghapus SMS itu.

Tiba-tiba.. kringgg!! Ups, bikin kaget saja. Lamunan Dossy buyar. Wah, nomor luar negeri. Jangan-jangan Farta. Rekan bisnis mana yang menelepon pukul 12 malam begini?

“Halo” jawab Dossy ragu. Sejenak taka da jawaban dari seberang sana.

“Hi Dossy, aku Farta.” suara di seberang hampir tak terdengar olehnya.

“Yup. Aku sudah baca invitation-mu. Congrat…” jawab Dossy singkat menahan sedih hatinya.

“Emm… kita masih bisa temanan kan? Minggu depan aku kembali. Aku ingin bertemu denganmu lagi,” pinta Farta terdengar ragu dari seberang sana.

Apa katanya?

“Tergantung. Untuk urusan bisnis, tentu,” jawab Dossy sedikit bergetar. Ah sebenarnya itu bukan jawaban dari hati Dossy yang sebenarnya.

“Still Friend? Come on, you are the best friend I have,” pinta Farta terdengar hati-hati. Friend? Ah, Dossy kini tahu jawabannya. Selama 4 tahun segitu saja. Hanya TEMAN. Setelah berapa lama aku berharap? Pfffffhhh.. ternyata benar memang aku yang bertepuk sebelah tangan.

“O.K. Still friend, Farta. Aku mau tidur dulu. Bye”
Dan Dossy pun mematikan hubungan kemudian menonaktifkan telepon genggamannya. Takut kalau Farta menelepon kembali. Dossy tidak bisa membohongi dirinya bahwa ia menahan kecewa. Setitik air di pelupuk matanya tak bisa ditahan dan kini mengalir deras. Ia telah memutuskan tidak menghadiri perkawinan Farta.

***

Enam bulan kemudian…

Dossy ditugaskan untuk menemui rekanan bersama bos siang itu. Ia tahu rekanan itu pasti termasuk Farta (karena perusahaan tempat Dossy bekerja telah membuat kontrak dengan perusahaan Farta sejak minggu lalu).

Ternyata rekanan itu memang benar Farta, ditambah tim manajer lainnya. Sepanjang pertemuan itu, Dossy berusaha bersikap professional. Tetapi tetap salah tingkah. Kadang berkeringat dingin… puihh, kapan selesainya semua ini. 

Ketika akhirnya selesai juga, cepat-cepat dijabatnya tangan para rekanan itu dan diantarnya ke depan lift. Berusaha untuk kuat di depan Farta. Selesai sudah, cukup untuk hari ini dan kesengsaraan untuk beberapa bulan ke depan.

***

Dossy sedang tidak ada janji lunch saat itu. Tanpa sadar ia berusaha mencari nomor HP Farta. Terhapus ternyata. Tetapi kemudian dicarinya nama Farta di buku telepon.
“Farta, ini aku. Bisa lunch? Kamu masih di kantorku?”

Apa yang kamu lakukan? Hati kecilnya berteriak. Dia bukan milikmu.

“Oke, 15 menit,” kata suara di ujung sana.

Apa yang aku lakukan? Bertemu lagi. Mudah-mudahan ini bukan tindakan salah, pikir Dossy.
Siang itu, Dossy sudah di depan Farta. Tetapi tidak berdua, berlima dengan kolega Dossy, di salah satu resto dekat kantor.

“Apa kabar Dossy. Sepertinya ada yang akan dibicarakan,” Farta membuka percakapan.

“Yup, aku masih banyak target yang diselesaikan sebelum akhir tahun ini. Aku team leader proyek ini,” jawab Dossy.

“Oh.. kamu yang megang proyek itu?”

“Yup, ada masalah?”

“O, no.. galak banget. Tumben ngajak aku lunch, kangen ya?” 

Astaga, kenapa di depan teman-teman menggodaku? Aku memang kangen. Tapi kamu bukan untukku. Apa salahnya hanya lunch? Setidaknya kali ini memang untuk bisnis. Lagipula tidak berdua seperti dulu.

Dossy mengela napas. Ditekannya jari telunjuk dengan ibu jarinya dengan kuat (resep mama supaya akal sehat tetap jalan).

“Aku mau membicarakan proyek itu langsung denganmu. Setidaknya aku menyampaikan beberapa pesan dari bosku. Dokumen dan road show itu harus diselesaikan dalam 3 bulan, tak lebih. Supaya road show di negara Asia dijalankan lebih dulu.. bla bla bla”

Siang itu topik pembicaraan yang  mengalir hanyalah mengenai proyek baru. Dossy berusaha menutup hatinya, menutup harapannya. Karena sekarang dia tidak boleh punya perasaan lain pada Farta. Setidaknya satu jam bertemu untuk makan siang sudah cukup mengobati rasa hati. Meskipun kali ini adalah kali pertama mereka makan tidak berdua dan pembicaraan hanya seputar bisnis, dan itu yang akan terjadi sampai proyek ini selesai.


Oleh : Theodora Manik

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Cerpen: Still Friend"

Post a Comment