Ketika Pernikahan Hanya Sebuah Kedok Menurut Dra. Louise Maspaitella, M.Psi

"Saya adalah seorang istri. Perkawinan dengan suami diawali dengan perjodohan oleh orangtua. Menginjak bulan ketiga, saya mendapatkan kejutan luar biasa. Suami ternyata gay, dia meminta untuk tidak bercerai dan memberi tahu keluarganya. Saya syok dan juga bingung, apakah perkawinan ini masih bisa dipertahankan"


Menyimak pengakuan Nisa di atas seperti laiknya menikmati alur sinetron. Kedengarannya agak janggal bahwa seorang Homoseksual (gay) menikah dan mempunyai anak. Kenyataannya, fenomena ini banyak ditemukan di masyarakat. Lalu bagaimana bila kamu yang menjadi pemeran utamanya. Simak penjelasan Psikolog senior Dra. Louise Maspaitella, M.Psi dalam menghadapi situasi sulit tersebut.

Sekedar Kedok

Sejatinya, perkawinan dilakukan atas dasar saling mencintai, percaya dan membutuhkan. Menjadikan pernikahan sebagai tedeng aling-aling oleh sebagian kaum gay mendapatkan penjelasan tersendiri dari Louise. Masih kentalnya budaya timur di Indonesia, lanjut Louise membuat masyarakat belum bisa menerima homoseksual.

“Mereka takut dikucilkan keluarga, teman dan lingkungan, itulah mengapa pernikahan akhirnya dijadikan tameng untuk menyembunyikan statusnya,” tutur Louise.


Menurut Louise, laki-laki seperti suami Nisa, yang kemudian menikah, biasanya lebih dilandasi untuk menyenangkan orangtuanya, atau demi menangkis rentetan pertanyaan lingkungan padanya, ”kok belum nikah juga, sih?” dan bukan untuk meninggalkan dunianya. Bagi Louise, pernikahan dengan embel-embel untuk menutupi “status” adalah perbuatan yang tergolong egois karena hanya akan menyakiti pihak pasangan.

Dari pengalamannya selama ini, Louise menyebut kaum biseksual (tertarik dengan laki-laki sekaligus perempuan) adalah yang biasanya menikah, sedang gay yag murni (gay dari kecil) jarang ditemukan. Bagi seorang gay murni, yang sama sekali tidak tertarik dan tidak terangsang secara seksual pada perempuan akan membuat perkawinan sebagai kedok belaka. Rata-rata mereka menikah karena tuntutan keluarga, lingkungan dan masyarakat.


Keadaan serupa dialami kaum biseksual. Meski telah mengikat janji dengan perempuan, bukan berarti sang lelaki telah meninggalkan kebiasannya. Menikah bukan berarti menghentikan panggilan hatinya untuk menikmati romantisme dan kecintaannya terhadap sesama lelaki.

Terima atau Tinggalkan?

Kembali ke kisah Nisa. Perempuan malang ini tidak penah menyangka jika nasibnya akan sepahit ini. “Keanehan” suaminya sudah dirasakan pada awal-awal pernikahannya. Nisa menaruh curiga akan seringnya suami meninggalkan rumah dengan beragam alasan. Tak hanya itu, Nisa juga tak mersakan kemesraan laiknya pasangan suami dan istri.

Setelah berhasil membongkar “belang” suaminya, Nisa menjadi syok dan jijik. Suaminya yang dikenalnya sangat baik, sayang keluarga dan bertanggung jawab ternyata di belakang itu dia adalah seorang gay.

“Perasaan syok dan mungkin jijik adalah reaksi wajar yang muncul dari istri seorang gay” tutur Louise.


Reaksi lain yang muncul adalah benci dan dendam, karena merasa ditipu mentah-mentah.

“Seandainya dia sejak awal menceritakan hal ini pada saya, maka saya tidak akan sejijik dan sedendam ini. Untung saja kami belum dikaruniai anak, kalau sudah, tidak tahulah saya.” curhat Nisa yang memilih jalan cerai.


Louise mengatakan, sangat jarang atau hampir tidak ada seorang perempuan yang sudah mengetahui suaminya gau, mau menerima suaminya itu apa adanya. Terlebih bila belum dikaruniai anak, perceraian pastilah menjadi pilihan.

“Kalaupun menerima kembali, perempuan itu pastilah memiliki hati yang luar bisa.” Imbuhnya.

Lalu, benarkah perceraian menjadi pilihan terbaik?

Dalam kondisi sulit seperti ini, Louise menyarankan untuk memikirkan dalam-dalam, apakah hubungan kamu berdua masih memiliki masa depan untuk kamu berdua terlebih untuk kebahagiaan kamu sendiri. Jika tetap memilik untuk tetap bersama  pasangan yang gay, persiapkan diri sematang mungkin, terutama menyiapkan diri berbesar hati untuk kedua kaliya bila ternyata pasangan kamu yang sebelumnya telah berjanji untuk berusaha menghilangkan naluri gaynya, kembali bermesraan dengan teman prianya.

Menurut pandangan Louise, gay yang tidak murni (biseksual), atau mungkin menjadi gay karena pergaulan dan sangat ingin kembali normal, lebih besar kemungkinannya dapat membina rumah tangga dengan anak dan istrinya.

“Dengan catatan, suami harus bertekad meninggalkan dunianya. Dan ia harus benar-benar bertekad berubah meninggalkan dunianya. Dan bertekad berubah dan mengabaikan ajakan ataupun undangan dari sesama gay yang pastinya akan terus menariknya kembali.” tegas Louise.


Menerima kembali sang suami beserta masa lalunya memang bukan perkara mudah. Diakui atau tidak, disadari atau tidak, perasaan kamu pastilah beda dengan ketika belum mengetahui keadaan suami yang sebenarnya. Godaan dari teman-teman gay yang berniat menarik suami kamu kembali adalah masalah lain yang bisa menjadi duri dalam rumah tangga.

“Jadi memang diperlukan tekad yang kuat dari suami. Kalau perlu pindah ke luar kota untuk memutus lingkaran tersebut.” sarannya.

Peluang yang kecil akan dimiliki kamu yang bersuamikan gay murni. Rumah tangga sebagai kedok untuk menyembunyikan ke gay-annya biasanya hanya berumur jagung. Gay murni sangat terkait dengan bawaannya sejak kecil. Itu berarti orientasi seksual menyukai sesama jenis sangat sulit untuk bisa dihilangkan. Menyelamatkan pernikahan akan sulit dilakukan karena tidak adanya komitmen dari laki-laki semacam ini untuk kembali normal.

“Menyelamatkan semua itu bukan berarti mengorbankan diri kamu sendiri”. tutup Louise.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ketika Pernikahan Hanya Sebuah Kedok Menurut Dra. Louise Maspaitella, M.Psi"

Post a Comment