Hidup Dibawa Senang Sajalah.. Menurut Dra. Ratih Andjayani Ibrahim, MM. Psi

Begitu sulitkah meraih kebahagiaan, hingga ribuan judul buku diterbitkan untuk membantu orang mencapainya?


"SELAMAT ULANG TAHUN YA, semoga panjang umur dan bahagia, selamanya..."

Mungkin kamu pernah atau malah selalu, mengucapkan kalimat 'standar' ini saat menyalami teman, sahabat atau kerabat yang berulang tahun. Harapan bisa 'berbahagia selamanya' sepertinya adalah sebuah harapan sederhana sehingga begitu ringan diucapkan. Sayang, pada kenyataannya, tidak ada orang yang pernah mencapai kebahagiaan selamanya. Banyak orang justru sulit mencapai kebahagiaan. Buktinya, buku-buku bertema cara mencapai kebahagiaan banyak diterbitkan dalam berbagai bahasa, semuanya laris terjual.

Beda Dulu dan Sekarang

Begitu memasuki ruang kerjanya, serombongan teman-teman Anita (30, nama samaran) berebut menyalaminya.

"Selamat ulang tahun ya nit, semoga panjang umur dan tetap bahagia" ucap teman-temannya. 

Anita hanya tersipu menerima ucapan yang bertubi-tubi. Ia terharu teman-temannya ingat ulang tahunnya. Walaupun kebetulan tanggal ulang tahun dirinya mudah diingat, karena bertepatan dengan hari kasih sayang, 14 Februari.

Setelah duduk di meja kerjanya, Shinta yang duduk di sebelahnya bertanya setengah berbisik.

"Gimana nit? seneng donk hari ini?" tanya Shinta

Anita menarik napas panjang

"Iya sih, aku merasa senang dan bahagia hari ini, tapi nggak tahu besok atau lusa," katanya tak yakin.

"Lho kok begitu? Ada masalah?" sahut Shinta.

Dengan senyum tipis Anita menjawab,  
"Ga ada apa-apa, ya mudah-mudahan bisa selalu bahagia, tapi manusia kan selalu berubah. Ukuran kebahagiaan juga berubah. Sekarang aku bahagia, besok belum tentu. Tapi itulah hidup," ucapnya berteori.


Sekarang bahagia, besok belum tentu? Wah kenapa bisa begitu ya? Jika kebahagiaan  adalah sesuatu yang sifatnya tak pasti, mengapa semua orang berlomba ingin memilikinya?

Baca juga : Ketiak Hitam, Solusinya? Menurut dr. Dian Pratiwi, SpKK 

Standar penakar kebahagiaan ternyata memang berbeda-beda. Ada yang beranggapan, orang yang punya uang triliunan pasti bahagia, ada pula yang merasa sangat bahagia asal memiliki suami yang tampan dan setia serta anak-anak yang manis. Latar belakang budaya juga memengaruhi patokan orang tentang kebahagiaan. Bangsa Yunani Kuno misalnya, mengartikan kebahagiaan sebagai kehidupan yang baik, baik secara rohani maupun jasmani. Nah, masa berganti, gaya hidup manusia pun berubah, sehingga arti kebahagiaan pun bergeser. Ada yang berpendapat, kebahagiaan bagi manusia modern tak lagi ditentukan oleh kesejahteraan jiwa, melainkan oleh kenyamanan hidup. Belakangan hal ini bahkan berkembang menjadi tuntutan gaya hidup, serba ada, bahkan cenderung mengarah ke hedonisme.

Dra. Ratih A.Ibrahim, MM. Psi
Dra. Ratih Andjayani Ibrahim, MM. Psi tidak terlalu setuju pada pendapat tersebut. Karena katanya,

"Dulu memang ada orang yang menempatkan pusat kebahagiaan pada kesejahteraan jiwa, sehingga berusaha keras mencapainya melalui cara yang beragam, termasuk menyangkal hal-hal yang duniawi. Tapi, sekarang juga ada orang-orang yang begitu. Zaman dulu juga tak sedikit orang yang menempatkan kebahagiaan pada kesenangan fisik, sehingga menimbulkan perilaku hedonis."

Jadi, menurut Dra. Ratih, masalahnya bukan seperti apa bahagia versi zaman dulu ataupun zaman sekarang, melainkan adalah pada bagaimana kita sebagai individu menghayati apa bahagia itu.

Bahagia = Hidup Ideal

Sebuah penelitian menjabarkan, dalam masyarakat Barat, terutama di Amerika Utara antara lain di Meksiko, Panama, Haiti maupun Kuba, kebahagiaan digambarkan sebagai pencapaian hidup ideal. Ideal menurut standar masyarakat tersebut adalah sukses dalam karier atau usaha, sehat, memiliki istri atau suami serta anak-anak yang cantik dan ganteng. Ditambah lagi memiliki kekayaan tanpa batas. Mereka juga meyakini, agar kebahagiaan berumur panjang, seseorang harus tetap tampil cantik atau tampan hingga di usia tua. 

Lama-kelamaan, persyaratan untuk hidup bahagia ternyata terus bertambah. Dewasa ini tuntutan untuk selalu mengikuti perkembangan zaman termasuk ke dalam persyaratan untuk hidup bahagia. Baik itu perkembangan fashion, menjadi anggota klub paling terkenal atau kemampuan untuk selalu bisa menikmati hidangan di resto-resto kenamaan dan membeli produk-produk baru yang diiklankan di media.


Lain di Amerika Utara, lain pula di Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam ini, kebahagiaan atau kehidupan yang ideal kadang-kadang digambarkan sebagai 'impian Amerika' yang didengungkan oleh Penulis Kenamaan Horatio Alger, yakni mengacu pada kerja keras, dedikasi tinggi, dan pengorbanan. orang yang semula sulit hidupnya, menjadi lebih nyaman secara finansial dengan cara bekerja keras dengan dedikasi tinggi.

Baca juga : Cegah Kanker Kulit dengan Pakaian Berwarna Gelap Menurut dr. Srie Prihianti Gondokaryono, SpKK, PhD   

Bagaimana dengan orang Indonesia? Memang belum ada penelitian khusus yang dilakukan. Namun, secara umum bisa digambarkan dari pengamatan di lingkungan sekitar kita. Masyarakat Indonesia banyak yang mengidentikkan kebahagiaan itu dengan segala sesuatu yang berada di luar dirinya. Sehingga, ketika orang ditanya apakah kamu akan merasa bahagia bila memiliki rumah indah, mobil mewah, penghasilan melimpah dan pasangan hidup yang tampan/cantik, jawabannya sudah dipastikan : ya! Mungkin itulah sebabnya begitu banyak orang ingin segera memiliki semua itu. Bahkan, kalau bisa dengan cara dan waktu yang sesingkat-singkatnya. Bukankah makin cepat bisa memiliki semuanya itu makin cepat juga kebahagiaan tercapai? Akibatnya, banyak orang yang rela menipu, korupsi atau memanipulasi demi memiliki harta berlimpah.

Namun, rasa bahagia dengan tuntutan semacam itu tidak akan berlangsung lama. Dra. Ratih berpendapat, orang yang seperti ini biasanya jarang mampu merasakan kebahagiaan sejati. Mengapa? 

"Karena ia kurang mampu menghargai dirinya secara benar. Untuk mampu menghayati kebahagiaan yang sejati, seseorang harus berdamai dulu dengan dirinya. Maksudnya, menerima dirinya secara utuh ap adanya, dengan penuh respek. Tanpa itu, orang lain tidak akan bisa menghargai dirinya" Kata Dra. Ratih.

Dengan menghargai diri sendiri secara benar, kita tetap mampu berdiri tegar, tak peduli apapun yang terjadi di luar sana.

"Asalkan kita memiliki diri sendi -sesuatu yang paling hakiki dan tidak dimiliki orang lain- maka kita tidak tergiur godaan untuk mencapai kebahagiaan dengan cara instan." lanjutnya.

Mungkinkah Tanpa Syarat?

Sebenarnya apa sih yang terjadi pada diri kita saat bahagia? Penulis buku Authentic Happiness, Dr. Martin Seligman, menjabarkannya secara ilmiah. Kebahagiaan itu terdiri dari emosi positif (rasa nyaman) dan aktivitas positif (kegiatan yang mengasyikkan), Seligman pun membagi tiga kategori emosi positif : masa lalu (misalnya : perasaan puas, bangga dan ketenteraman), masa kini (misalnya menikmati makanan yang lezat, gembira mendengarkan musik, mendapat bacaan yang asyik, serta berada di antara orang-orang yang kita sukai, baik teman ataupun keluarga) dan masa yang akan datang (misalnya perasaan optimistis, harapan, kepercayaan dan rasa percaya diri).

Baca juga : Plus Minus Obat Tidur Menurut Prof. Dr. dr. Frans D Suyatna, SpFK 

Dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan, kunci kebahagiaan yang sesungguhnya ternyata adalah saat-saat menyenangkan dan rangsangan dari luar yang membuat kita bergembira. Seligman juga menambahkan : menikmati dan mencintai pekerjaan juga merupakan salah satu kunci mencapai kebahagiaan.

Nah, bila teori Seligman terasa agak sulit dijangkau. Kamu bisa mengikuti teori lain yang lebih sederhana. Kebahagiaan ternyata sebuah kondisi tanpa syarat. Kamu bisa merasa bahagia, walaupun tidak memiliki harta berlimpah, karier cemerlang atau keluarga sempurna. Cara mendapatkannya pun mudah saja, kamu cukup mengatakan,

"Ya, saya sudah memilih untuk berbahagia, apapun yang terjadi."


Kamu pun spontan akan merasakan kebahagiaan itu. Kamu adalah apa yang kamu pikirkan. Inilah yang disebut dengan sugesti diri. Jadi, jika kamu katakan berulang-ulang,

"SAYA MEMILIH UNTUK BAHAGIA"

Maka kebahagiaanpun menjadi bagian hidup kamu, Singkatnya, kebahagiaan itu ternyata letaknya tak jauh-jauh dari kita, yaitu di dalam pikiran kita sendiri.

7 Kunci Mencapai Kebahagiaan

Berikut adalah 7 kunci untuk mencapai kebahagiaan menurut Dra. Ratih :
  1. Ringankan Hidup : Buat hidup lebih ringan dengan selalu senang saat melakukan apapun. Pekerjaan dijamin lancar, kamu pun merasa bahagia.
  2. Rela Memaafkan : Walaupun berat, bila dicoba tentu ada hasilnya. Rasa kesal dan kecewa akan berangsur hilang. Hati kamu pun menjadi ringan.
  3. Bersyukur : Kamu tak perlu harus menunggu mendapat hal-hal besar, untuk mengucapkan syukur. Saat mendapatkan hal-hal yang kecil misalnya, ketika kamu ingin mandi, air mengucur di kamar mandi, kamu pun patut mengucapkan syukur.
  4. Selalu Berpikir Positif : Pikiran positif akan membuat kamu terbebas dari rasa takut atau curiga yang berlebihan.
  5. Sesuaikan Keinginan Dengan Kemampuan : Memiliki ambisi ada baiknya karena dapat memacu kamu untuk mencapai sesuatu. Namun jangan lupa untuk menyesuaikan dengan kemampuan.
  6. Nikmati Apa yang Kamu Miliki : Jangan selalu membandingkan yang kamu miliki dengan milik orang lain. Kamu malah jadi tak sempat untuk menikmatinya.
  7. Hidup Harus Memilih : Tetapkan pilihan, mana yang paling kau inginkan dalam hidup. Memang hidup ini banyak pilihan, namun tak semuanya bisa didapatkan pada saat bersamaan.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hidup Dibawa Senang Sajalah.. Menurut Dra. Ratih Andjayani Ibrahim, MM. Psi"

Post a Comment