Tes Keperawanan, Ya atau Tidak? Menurut dr. Putri Dianita Ika M.,Sp.F
Menurut dr. Putri Dianita Ika M.,Sp.F, tes keperawanan sebenarnya cukup wajar dilakukan karena prihatin dengan perkembangan generasi muda sekarang. Terutama dengan semakin maraknya pergaulan bebas dikalangan remaja. Namun, pada prakteknya tentu saja tes keperawanan tersebut tidak mudah dan kurang tepat bila dikaitkan dengan pantas atau tidaknya calon siswa/siswi untuk diterima di suatu lembaga pendidikan.
Masalah keperawanan/keperjakaan erat kaitannya dengan moralitas, dan moralitas tidak dapat dilepaskan dari masalah agama. Oleh karena itu, cara yang paling tepat mengatasinya adalah secara preventif, yaitu dengan pendidikan agama. Adanya semacam tes keperawanan mungkin dapat dipandang sebagai cara untuk "menakut-nakuti" calon siswa dan siswi agar tidak ada lagi "kasus baru". Namun, untuk yang sudah "terlanjur" akan sangat merugikan, baik dalam arti kehilangan kesempatan pendidikan maupun dari segi sosial karena adanya predikat "tidak perawan/perjaka" yang melekat pada dirinya.
Masih Kabur
Dr. Putri mengatakan, Istilah "perawan" kerap membingungkan, mengingat tidak ada definisi yang benar untuk menggambarkan definisi "perawan" tersebut. Apakah keperawanan itu identik dengan selaput dara (hymen) yang masih utuh? Atau dengan belum adanya aktifitas seksual? Apakah seorang wanita yang belum pernah berhubungan badan melalui vagina (belum pernah mengalami penetrasi oleh penis) tapi sudah pernah melakukan masturbasi dengan jari tapi dapat dikatakan masih "perawan"? Lalu bagaimana bila hanya melakukan "petting", tanpa penetrasi?
Ketidakjelasan merambat ke alur lain. Bagaimana pula dengan tes keperjakaan pada laki-laki? Apa patokannya? Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang harus dijawab terlebih dahulu bila ingin mendiagnosis "keperawanan/keperjakaan".
Secara medis, keperawanan/keperjakaan tidak dapat dibuktikan. Definisi dari "perawan/perjaka" itu sendiri tidak jelas. Tanpa definisi yang jelas, tentunya diagnosis yang ditegakkan pun tidak pasti, sehingga wacana tes keperawanan ini perlu ditinjau lagi.
Bagian Darurat
Bila dilihat dari kacamata kedokteran forensik, tidak semua kasus robeknya selaput dara, adalah akibat kegiatan seksual suka sama suka atau pergaulan bebas. Masih banyak kasus yang terjadi akibat kejahatan susila, seperti perkosaaan atau pencabulan, dimana hubungan seksual dilakukan dengan kekerasan dan atau dengan ancaman kekerasan. Kasus-kasus seperti itulah yang harus menjadi prioritas untuk diperhatikan dan ditangani.
Di masyarakat kita yang konon agamis dan berbudaya timur ini, Masalah keperawanan memang masih dijunjung tinggi. Namun, efek sampingnya adalah korban-korban perkosaan/kejahatan susila yang kehilangan keperawanannya akibat tindakan kriminal menjadi takut dan malu melapor karena tidak ingin dicap buruk. Seringkali mereka bahkan tidak berani menceritakan ke keluarga atau teman sendiri karena khawatir akan stigma "tidak perawan".
Rasa takut ataupun malu untuk melapor tersebut menyebabkan banyak korban tidak mendapat pertolongan yang seharusnya. Kalaupun akhirnya mereka memberanikan diri untuk melapor, tidak jarang keluarganya justru menutup-nutupi atau menyembunyikan kejadian tersebut agar tidak membuat aib bagi keluarga.
Tidak sedikit pula korban yang tidak tahu harus melapor/mengadu kemana untuk mendapatkan pertolongan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan bila menjadi korban kejahatan susila. Padahal dalam bidang forensik, korban suatu kajahatan susila, terutama korban perkosaan, termasuk golongan korban yang "gawat darurat" atau "forensic emergency" sehingga membutuhkan P3K yang tepat dan cepat.
P3K yang dimaksud disini adalah "Pertolongan Pertama pada Perkosaan dan Kejahatan susila", Maksudnya adalah tindakan apa yang harus dilakukan pada kasus tersebut agar setelah kejadian sesegera mungkin dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya, baik dari segi medis-psikis maupun aspek sosial-legal. Berikut beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam "P3K" ini.
1. Aspek Medis Psikis
- Tindakan preventif/pencegahan, mencakup pencegahan kehamilan dan penyakit menular seksual. Tindakan ini dilakukan dokter dan diberikan dalam waktu yang sesegera mungkin setelah kejadian;
- Tindakan kuratif-rehabilitatif/pengobatan dan rehabilitasi, mencakup pengobatan, perawatan luka-luka (bila ada) serta konseling atau psikoterapi terhadap trauma psikis yang terjadi. Tindakan ini pun memerlukan peranan dokter, psikolog dan psikiater. dukungan keluarga pun tidak kalah pentingnya agar korban merasa tetap diterima dan dicintai, yang akan sangat membantu proses pemulihannya.
2. Aspek Sosio-Legal
- Pengungkapan kasus, mulai dari pelaporan ke kepolisian, preservasi bukti dan pemeriksaan dalam rangka pembuktian.
- Bantuan sosial, yaitu tindakan yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang aman dan waspada, membantu korban kejahatan susila dalam mencari pertolongan medis dan hukum, serta memberikan dukungan bagi korban dalam rangka pemulihan fungsi sosialnya.
0 Response to "Tes Keperawanan, Ya atau Tidak? Menurut dr. Putri Dianita Ika M.,Sp.F"
Post a Comment