Skizofrenia, Gangguan Jiwa Berat Menurut dr. Suryo Dharmono, SpKJ
Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu “schizo” yang artinya retak atau pecah (split), dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian.
Skizofrenia adalah kelainan fungsi otak serius yang mengganggu cara seseorang berfikir, bertindak, berekspresi, melihat realita, dan berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Skizofrenia membuat seseorang ketakutan dan menarik diri. Penyakit ini menyerang sekitar 24 juta orang di seluruh dunia, atau sekitar 7 dari 1000 orang dewasa. Sebagian besar penderitanya barasal dari kelompok usia 15-35 tahun. Sayangnya, lebih dari 50% penderita skizofrenia tidak mendapatkan penanganan yang memadai. Sebanyak 90% penderita yang tidak ditangani merupakan penduduk negara berkembang.
Gejala skizofrenia datang dan pergi. Ketika penderita sedang tidak mendapat ‘serangan’, mereka dapat menjalankan hidup mereka relatif normal tanpa gangguan, namun akan jauh keadaannya jika mereka sedang mengalami ‘serangan’. Saat ini sebenarnya telah tersedia berbagai cara penanganan yang efektif, namun sebagian besar penderita skizofrenia kronis tidak mendapatkan terapi, sehingga semakin memperburuk saja kondisinya.
Menurut dr. Suryo Dharmono, SpKJ, kelainan ini tidak dapat disebutkan seperti hanya diabetes atau alergi, namun dapat dikendalikan dengan penanganan yang tepat. Semakin dini dilakukan penanganan semakin efektif pula hasilnya.
Faktor Penyebab
Faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi terjadinya skizofrenia, antara lain: riwayat keluarga, tumbuh kembang di tengah-tengah kota, penyalahgunaan obat seperti amphetamine, dan stres yang berlebihan. Skizofrenia terjadi pada laki-laki dan perempuan dengan frekuensi yang sama. Gejala-gejala awal biasanya terjadi pada masa remaja atau awal dua puluhan. Laki-laki sering mengalami periode yang lebih awal daripada perempuan.
Gejala
Gejala skizofrenia terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Gejala Positif
- Delusi/waham : penderita memiliki keyakinan yang tidak sesuai dengan realita;
- Halusinasi : penderita melihat, mendengar, atau merasakan sesuatu yang tidak ada.
2. Gejala Disorganisasi
- Tidak dapat membuat percakapan dengan jelas;
- Berfikir tentang satu objek ke objek lainnya dengan cepat;
- Refleks kurang responsif;
- Tidak dapat membuat keputusan;
- Menulis terus-menerus namun tanpa makna;
- Mengulangi gerakan atau sikap;
- Sulit memahami pandangan, pendengaran, dan perasaan.
3. Gejala Negatif
- Hilang emosi atau ekspresi, pikiran, dan mood yang tidak sesuai dengan situasi atau keadaan;
- Menarik diri dari keluarga, teman dan kehidupan sosial;
- Merasa lelah;
- Tidak memiliki motivasi;
- Hilang gairah hidup;
- Kebiasaan kebersihan dan perawatan diri yang kurang;
- Masalah penurunan kemampuan di sekolah, pekerjaan, atau aktivitas lain;
- Kehilangan rasa ketertarikan Hidup;
- Tetap dalam satu posisi untuk waktu yang lama (kattonia).
Penanganan
Ada beberapa langkah yang dapat membantu mengatasi gejala skizofrenia, antara lain belajar menanggulangi stres, depresi, belajar rileks, tidak menggunakan alkohol, tidak menggunakan obat-obatan tanpa sepengetahuan dokter, serta segera berkonsultasi ke dokter/ psikiater.
Obat neuroleptika selalu diberikan, kecuali obat-obat ini terkontraindikasi, karena 75% penderita skizofrenia memperoleh perbaikan dengan obat-obatan neuroleptika. Hal yang penting dilakukan adalah intervensi psikososial. Hal ini dilakukan dengan menurunkan stressor lingkungan atau mempertinggi kemampuan penderita untuk mengatasinya, dan adanya dukungan sosial.
Intervensi psikososial diyakini berdampak baik pada angka relaps (kambuh) dan kualitas hidup penderita. Intervensi berpusat pada keluarga hendaknya tidak diupayakan untuk mendorong eksplorasi atau ekspresi perasaan-perasaan, atau mempertinggi kewaspadaan impuls-impuls atau motivasi bawah sadar. Tujuannya adalah:
- Pendidikan pasien dan keluarga tentang sifat-sifat gangguan skizofrenia;
- Mengurangi rasa bersalah penderita atas timbulnya penyakit ini. Bantu penderita memandang bahwaskizofrenia adalh gangguan otak;
- Mempertinggi toleransi keluarga akan perilaku disfungsional yang tidak berbahay. Kecaman keluarga akan berkaitan erat dengan relaps;
- Mengurangi keterlibatan orang tua dalam kehidupan emosional penderita. Keterlibatan yang berlebihan juga dapat meningkatkan resiko relaps;
- Mengidentifikasi perilaku problematik pada penderita dan anggota keluarga lainnya dan memperjelas pedoman bagi penderita dan keluarga.
Terapi hendaknya hendaknya dipusatkan pada penatalaksanaan stres atau mempertinggi kemampuan sosial spesifik, serta bila berlangsung dalam konteks hubungan terapeutik yang ditandai dengan empati, rasa hormat positif, dan ikhlas. Pemahaman yang empatis terhadap kebingungan penderita, ketakutan-ketakutannya, dan demoralisasinya sangat penting dilakukan.
Bantuan dari orang-orang terdekat akan sangat menolong, seperti pada skizofrenia fase aktif, penderita mudah terpukul oleh permasalahan yang sederhana sekalipun. Kurangi pemberian tanggungjawab agar tidak terlalu membebani penderita dan mengurangi stres jangka pendek.
Penderita skizofrenia mungkin menggunakan kata-kata yang tidak masuk akal. Agar lebih memahami, cobalah berkomunikasi dengan cara lain dan mengajak melakukan aktivitas bersama-sama seperti mendengarkan musik, melukis, menonton televisi atau menunjukan perhatian tanpa harus bercakap-cakap. Jangan membicarakan penderita jika penderita skizofrenia masih ada di sekitar situ. Penderita skizofrenia biasanya sangat sensitif dan merasa sedang dibicarakan hal-hal yang jelek oleh orang-orang sekitarnya.
0 Response to "Skizofrenia, Gangguan Jiwa Berat Menurut dr. Suryo Dharmono, SpKJ"
Post a Comment