Perlukah Sunat Pada Anak Perempuan? Menurut dr. Yani, SpB, SpBA
Istilah sunat perempuan mungkin tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Tradisi yang dilakukan turun temurun tersebut menuai kontroversi. Mulai dari kalangan yang pro dengan dasar anjuran agama dan budaya sampai kalangan yang kontra karena dianggap melanggar hak asasi manusia yaitu hak reproduksi wanita. Lalu bagaimanakah sebaiknya dalam menyikapi hal tersebut?

Jenis Sunat
Jenis sunat perempuan yang dilakukan bermacam-macam, ada yang dipotong sebagian ada yang seluruh klitoris (bagian dari kelamin perempuan yang identik dengan penis pada laki-laki, namun mengecil saat perkembangan dalam kandungan), ada juga yang diikuti pemotongan sebagian atau seluruh labia minora (bibir kemaluan perempuan bagian dalam), kemudian labian minora dijahit dengan menyisakan hanya sedikit lubang untuk keluarnya darah menstruasi. Jika akan menikah, labia minora baru dipotong atau dibuka jahitannya. Alasan kenapa dilakukan sunat perempuan diantaranya untuk menurunkan dorongan seks pada perempuan, sebaliknya ada pula yang justru dilakukan untuk memudahkan perempuan mencapai kepuasan seks setelah menikah.
Dibeberapa negara seperti Afrika, sunat perempuan dilakukan dengan memotong sebagian alat kelamin perempuan bagian luar. Oleh karena itu, sering terjadi pendarahan, infeksi, tidak subur, sakit saat melahirkan, tidak dapat mengontrol kencing dan tidak dapat menikmati hubungan seks. Sementara itu, penelitian di Indonesia melaporkan 27% sunat perempuan hanyalah sebagai syarat atau simbol karena orang tua merasa kurang yakin atau tidak afdhol jika anak perempuannya belum disunat dan 73% sisanya dilakukan dengan cara berbahaya. Dunia menyebut sunat perempuan dengan istilah Female Genital Mutilation (FGM).
Mengapa Perlu Sunat
Menurut dr. Yani, SpB, SpBA, ditinjau dari anatomi (struktur fisik) alat kelamin perempuan, labium (bibir kemaluan) identik dengan skrotum (buah zakar) laki-laki, sedangkan klitoris identik dengan penis karena struktur dasarnya sama. Sementara itu, prepusium pada kepala penis berbeda dengan prepusium pada klitoris. Prepusium pada laki-laki menutup kepala penis agak rapat dan panjang sedangkan pada perempuan prepusium hanya menutupi klitoris seperti payung.
Kotoran yang menumpuk pada prepusium penis harus dikeluarkan atau harus dibersihkan. Cara efektif adalah dengan disunat supaya kotoran tersebut tidak menjadi sumber infeksi dan menyebabkan kepala penis mengalami peradangan karena prepusium terlalu panjang sehingga sulit untuk dibersihkan dengan cara biasa. Sunat pada laki-laki membuat kepala penis terbuka karena hampir seluruh prepusium dipotong sehingga kotoran tidak akan berkumpul lagi didalamnya. Oleh karena itu sunat pada laki-laki justru dianjurkan secara medis karena ada manfaatnya. Sedangkan pada perempuan, kotoran tidak akan berkumpul karena prepusium tidak menutup rapat klitoris, sehingga kotoran akan ikut dibersihkan setiap buang air kecil. Maka dari itu sunat pada perempuan tidak diperlukan.
![]() |
Sunat antara laki-laki dan Perempuan |
Dokter juga mengatakan, dikurikulum pendidikan dokter umum, dokter bedah umum dan bedah anak yang pernah beliau ikuti, tidak pernah diajarkan sunat perempuan dan selama ini tidak pernah ada prosedur medis yang baku untuk sunat perempuan, hanya mengalir dari mulut ke mulut. Dr. Yani sendiri juga tidak menganjurkan, namun kalau ada orang tua yang memaksa anak perempuannya disunat meski dokter menjelaskan hal itu tidak perlu, maka akhirnya sunat tetap dilakukan sebagai simbol saja, misalnya menyentuhkan ujung jarum suntik atau gunting atau pisau ke prepusium (kulit penutup) klitoris sampai keluar darah sedikit atau tidak keluar sama sekali. Jadi lebih untuk indikasi psikis orang tua. Dari sisi medis sendiri, sunat perempuan tersebut dinilai tidak ada manfaatnya.
WHO telah mengkampanyekan ‘zero tolerance’ terhadap sunat perempuan. Departemen Kesehatan RI juga mengeluarkan peraturan menteri kesehatan (permenkes) tentang pelarangan bagi tenaga medis melakukan sunat perempuan. Hal tersebut dapat menimbulkan ketakutan masyarakat meminta pertolongan medis lagi untuk melakukan sunat perempuan pada anak mereka, sehingga mereka akan merasa lebih nyaman datang ke paramedis. Jika dilakukan oleh orang-orang yang tidak tahu anatomi alat kelamin perempuan, maka sunat perempuan akan mengakibatkan kerusakan fungsi dan hal tersebut merugikan, misalnya sampai terjadi mutilasi klitoris. Mutilasi tersebut berakibat fatal, diantaranya berkurangnya kepuasan seks yang dirasakan oleh perempuan (orgasme). Selain itu, sunat oleh paramedis menggunakan alat yang tidak steril dapat mengakibatkan infeksi.
Masih menurut dr. Yani, jika masyarakat ragu-ragu apakah cairan kental warna putih yang keluar dari alat kelamin bayi perempuan baru lahir disebabkan mereka belum disunat, sebenarnya cairan tersebut hanya merupakan lapisan luar atau sisik putih di kulit bayi baru lahir yang nanti akan menghilang sendiri (lanugo). Masyarakat juga tidak perlu khawatir karena secara medis tidak ada dampak serius perempuan yang tidak disunat, berbeda dengan laki-laki. Efek terhadap dorongan seks perempuan atau kepuasan seks setelah menikah jika tidak disunat juga belum diketahui secara pasti. Yang jelas, faktor penting yang menentukan kepuasan seks pada perempuan adalah kondisi psikis atau emosionalnya. Pada akhirnya setiap dokter memiliki kewajiban untuk mensosialisasikan informasi yang benar tentang sunat perempuan pada masyarakat luas.
0 Response to "Perlukah Sunat Pada Anak Perempuan? Menurut dr. Yani, SpB, SpBA"
Post a Comment