Anak Laki-laki Kok 'Kemayu'? Menurut Psikolog Gisella Pratiwi, M. Psi

Anak laki-laki kok kemayu? Suka sekali main boneka, menyenangi warna pink pula. Jangan khawatir sob, itu bukan alasan kelak ia akan pindah gender.

Anak laki-laki jadi nampak kurang macho, gara-gara dia suka main boneka dan menyukai warna-warna soft. Padahal, ibunya ingin putra semata wayangnya tampil seperti anak laki-laki lainnya. Begitulah ilustrasi salah satu kecemasan seorang ibu terhadap putranya.




Memang, tak jarang ibu dibuat khawatir dengan perilaku putranya yang tampak lembut seperti wanita. Padahal sebagai sosok laki-laki, beberapa ibu menyimpulkan harus tampil kuat dan macho. Menurut Gisella Pratiwi, M. Psi,  anak laki-laki yang tampil kemayu janganlah terlalu dirisaukan apalagi khawatir akan berubah gender nanti, tetapi hal itu hanyalah karakteristik khas pada anak-anak, karena masing-masing  anak memiliki keunikan sendiri-sendiri dan dibentuk berdasarkan pengalaman serta tuntutan nilai budaya yang diyakini lingkungan.

Boleh ‘Kemayu’

Kemayu dalam masyarakat biasanya dikaitkan dengan sifat feminim. Sifat ini umumnya diidentikkan dengan jati diri perempuan. Misalnya sifat sensitif secara emosional, lemah lembut, memperhatikan penampilan, kerapihan dan lain sebagainya. Sehingga, ketika laki-laki menunjukan salah satu dari sifat itu, laki-laki akan dianggap kurang macho/maskulin.

Dikatakan psikolog Gisella jika seorang anak laki-laki memiliki sifat sensitif secara emosional, seperti empatik dan hangat, kerap dipandang laki-laki ini ‘banci’ atau bukan laki-laki sejati. Bahkan pada jaman sekarang ini, tidak sedikit ditemui laki-laki (metrosexual) yang tampil rapi dan begitu peduli dengan penampilannya layaknya perempuan, namun tidak mengurangi keberadaannya sebagai seorang laki-laki.

Sebenarnya, perilaku ‘kemayu' sangat erat hubungannya dengan konsep pembentukan  perbedaan peranan dari masing-masing jenis kelamin (gender) secara sosial, yaitu pembentukan atau pembiasaan diri dari nilai/norma budaya masyarakat.

Secara biologis perempuan dan laki-laki diciptakan memiliki perbedaan organ kelamin serta faktor kromosom yang berbeda. Namun selebihnya, seperti sikap/perilaku  yang diharapkan masyarakat/lingkungan sekitar terhadap perempuan dan laki-laki adalah pembentukan dari sistem nilai suatu masyarakat.

Begitu juga dalam hal pembentukan karakter seorang anak, hal ini berdasarkan pengalamannya dari lingkungan dan tuntutan perilaku yang diharapkan oleh lingkungan terhadapnya. Setiap lingkungan masyarakat akan berbeda, bergantung penekanan nilai budaya masing-masing dari keluarga. Hanya saja di masyarakat kita, keyakinan budaya perbedaan gender ini memang masih sangat kental sehingga anak laki-laki yang ‘kemayu’ dan cenderung kurang macho masih dianggap kurang lazim.

Jadi, jika seorang anak laki-laki memperlihatkan salah satu sifat yang dianggap 'kemayu' tadi, ada baiknya orang tua disarankan untuk tidak serta merta panik dan merasa harus melarang anak bersikap 'kemayu'. Karena setiap individu itu unik dan tidak hanya terbedakan dari jenis kelaminnya saja. Tidak perlu melarang anak laki-laki yang cerewet agar tidak seperti anak perempuan, tapi sarankan agar ‘kecerewetannya’ menjadi prestasi/perilaku positif, misalnya menjadi orator, pengarang/penulis, entertainer, seniman dsb.

Bahkan dewasa ini banyak sifat (perempuan) seperti sensitif secara emosional, justru disarankan untuk distimulasi sejak dini pada anak laki-laki. Menurut Gisella, anak laki-laki yang dilarang mengungkapkan emosinya, seperti tidak boleh cengeng/menangis cenderung mengajarkan manajemen emosi yang kurang tepat sehingga bisa menjadi bibit perilaku kekerasan di masa depan.

Tepat Asuh

Pola pengasuhan terhadap anak memang sangat mempengaruhi sifat dan perilakunya ke depan. Anak yang kemayu tidak perlu menyita banyak waktu ibu untuk cemas dan melarang dengan mengajarkan bersikap umumnya laki-laki yang tegas dan kuat. Apalagi laki-laki biasanya diidentikkan dengan sifat kasar dan keras, yang semakin mengesahkan perilaku kekerasan pada kaum lelaki dan sistem nilai yang bias gender seperti inilah yang menjadi akar permasalahan kasus kekerasan nantinya.

Menurutnya, memberikan pola asuh yang tidak bias gender dengan tidak mengkotak-kotakan pengasuhan berdasarkan jenis kelamin anak dikatakan sangat penting dilakukan. Karena setiap manusia, baik perempuan atau laki-laki, diciptakan secara unik dengan karakteristik khas masing-masing dan tidak seharusnya dibatasi karena tuntutan gender.

Tetapi, biasanya tanpa sadar orang tua sudah memiliki tuntutan, sikap, perilaku yang berbeda terhadap anak perempuan dan laki-laki. Misalnya dari penelitian, orang tua lebih menuntut kesuksesan dari anak laki-laki dan memberikan toleransi kegagalan yang lebih banyak kepada anak perempuan, atau orang tua lebih banyak memberikan dukungan verbal terhadap bayi perempuan daripada bayi laki-laki. Padahal, ini tidak adil bagi tumbuh kembangnya. Selain itu pola asuh dalam mengajarkan anak mempelajari gender bisa diperoleh dari mencontoh figur pengasuh yang sama jenis kelaminnya. Biasanya, anak perempuan meniru ibu dan anak laki-laki meniru ayah.

Tidak perlu khawatir bagi mereka yang salah satu orang tuanya ‘absen’ dalam menjalankan perannya sebagai sosok bagi anak. Anak akan mempelajari peranan tersebut dari masyarakat yang lebih luas (seperti: kakek, sistem nilai di sekolah, masyarakat dan lain sebagainya), jika anak tidak menemukannya dalam keluarga.

Sementara pada kondisi seperti ini, yang harus diberikan ibu atau pengasuh adalah nilai-nilai pengasuhan yang terbaik serta mengenalkan identitas seksual si anak agar dia mengerti organ tubuhnya (termasuk organ kelaminnya), mencintai dan menghargai diri sendiri dan mencegah/melindungi diri dari kemungkinan orang lain yang akan menyakiti dirinya. Serta kenalkan anak adanya perbedaan organ/alat kelamin antara perempuan dan laki-laki, terutama ketika anak sudah bisa bicara.

Kapan Waspada?

Jadi tidak perlu berlebihan jika anak laki-laki ‘kemayu’, tetapi cobalah eksplorasi lebih lanjut apa yang terjadi apabila ada ‘perbedaan ekstrem’ padanya, misalnya  jika dia tampak cenderung memiliki orientasi seksual dengan sesama jenis.

Meski tidak  mudah bagi setiap orang tua, namun disini orang tua dituntut untuk lebih berpandangan terbuka dan tetap ‘merangkul’ anak agar anak tidak gamang serta tetap merasa punya pihak yang menyayangi dan menerimanya. Sebab, selain karena pengalaman traumatik anak yang mengalami kekerasan seksual sesama jenis, banyak kasus homoseksual  terjadi akibat bawaan genetik yang memang tidak mampu dikendalikan si anak maupun orang tua.

Oleh sebab itu, tidak bijak jika orang tua memaksa anak berubah dan mengingkari keadaan biologisnya. Sekali lagi ditegaskan, bahwa patut diperhatikan jika anak menunjukkan sifat 'kemayu', sebaiknya tidak langsung menyimpulkan dia akan menjadi homoseksual, karena kedua hal itu adalah hal yang berbeda.

Tepat Asuh Bagi Anak

  1. Berikan kesempatan yang sama bagi anak untuk mengembangkan dirinya;
  2. Biasakan anak untuk mengeksplorasi perasaannya sehingga mengembangkan intelegensi emosionalnya;
  3. Berikan pengekspresian perasaan yang sehat, jangan melarang anak laki-laki menangis hanya karena dia laki-laki;
  4. Berikan keyakinan bahwa anak laki-laki dan anak perempuan adalah unik dan spesial sehingga mereka belajar mencintai dan menghargai dirinya, dengan begitu mereka juga lebih percaya diri untuk mengaktualisasikan dirinya;
  5. Berikan kesempatan yang sama antara anak laiki-laki dan anak perempuan untuk mengungkapkan pendapatnya. Biasakan berdiskusi dengan mereka sesuai dengan  tingkat pemahamannya, terutama pada hal-hal yang melibatkan anak dan keluarga.
 

(Disalin dari Majalah 'Dokter Kita' Edisi 12 Tahun ke-VI)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Anak Laki-laki Kok 'Kemayu'? Menurut Psikolog Gisella Pratiwi, M. Psi"

Post a Comment