Membuang Trauma Bencana Menurut dr. Suryo Dharmono Sp.KJ(K)

Beberapa bulan ini bencana alam silih berganti 'menyapa' Indonesia. Mulai dari banjir bandang, gempa bumi, dan gunung meletus, terakhir adalah meletusnya gunung agung di Bali. Tak hanya merampas harta dan nyawa, bencana tersebut menorehkan luka dan trauma. Entah pada orang dewasa maupun anak-anak. Lalu bagaimana cara mengatasinya?

Bencana selalu menyisakan luka batin yang dalam karena saat bencana melanda sebagian besar masyarakat berada dalam kondisi yang tidak siap, hal itulah yang mengakibatkan masyarakat akan mengalami bermacam tekanan. Dari bencana-bencana itu ada yang kehilangan sanak keluarga, saudara, benda, maupun tempat tinggal. Tekanan hadir pula ketika mesti berlarian saat menyelamatkan diri dalam suasana yang gaduh, seperti orang menangis dan berteriak. Suasana pengungsian yang jauh dari kesan nyaman, dengan berjubelnya banyak pengungsi, makin memperparah kondisi jiwa. Menangis, meratap, ketakutan, panik, tidak percaya pada kenyataan adalah ragam ekspresi yang ditampakkan korban bencana. Bisa bayangin kan beratnya orang yang terkena bencana? Oleh karena itu mari kita ikuti penjelasan dr. Suryo Dharmono Sp.KJ(K), dokter ahli kesehatan jiwa.

Penanganan Yang Tepat

Beragam ekspresi emosi pada korban bencana diatas adalah reaksi wajar. Setiap orang yang mengalami peristiwa kehilangan atau kematian, akan menunjukkan emosi yang kuat. Diperlukan perhatian dan penanganan yang serius agar tidak lebih parah. Penanganan yang dimaksud berupa bantuan tanggap darurat dan psiko program yang terdiri dari kesehatan jiwa dan psikososial. Pendekatan kesehatan jiwa tercakup dalam aspek medis. Sedangkan psikososial lebih pada aspek social worker. Ketika di lapangan keduanya akan saling bekerja sama dan saling bergantungan. Untuk mengatasinya tidak hanya dari bantuan relawan saja, tetapi juga melibatkan anggota medis baik dari puskesmas maupun rumah sakit.

Pertolongan pertama yang mesti dilakukan untuk para korban adalah dengan memberikan beberapa akses yang pasti. Misalnya kejelasan tempat mereka mengungsi, maupun bahan dasar seperti makanan dan pakaian ganti. Hal ini adalah keharusan karena dalam suasana yang sudah tertekan akan semakin memicu timbulnya reaksi stres akut.

Dr. Suryo menjelaskan, seseorang akan mengalami reaksi stres akut jika terus-menerus terpapar oleh situasi yang traumatik. Gejala stres ditandai dengan sikap kebingungan, keadaan kesiagaan yang tidak tentu seperti mudah kaget, tidak bisa tidur, perilaku kacau dan sangat agitasi (
hasutan kepada orang banyak untuk mengadakan kekacauan). Korban juga sampai memperlihatkan ketakutan terhadap peristiwa yang mirip dengan kejadian. Misalnya ketika mendengar suara keras dan ada teriakan atau tangisan, mereka seperti dihadapkan situasi yang lalu. Inilah yang nantinya akan berkaitan dengan gejala-gejala psikotrauma.

Berilah Kepastian

Mengatasi stres akut adalah dengan menjawab kebingungan mereka akan berbagai ketidakpastian yang dirasakan. Dimulai dengan kepastian keberadaan anggota keluarganya, baik dalam keadaan hidup maupun tidak. Termasuk kepastian akan kebutuhan makanan dan pakaian. Dalam 1 bulan pertama tanggap respon darurat seperti itu lebih dibutuhkan sob.

Untuk itu para relawan dan pekerja garis depan sudah semestinya mendapatkan pelatihan dari profesional, karena merekalah yang menghadapi situasi pertama kali. Kehadiran relawan begitu berjasa untuk membantu korban yang sedang mengalami kekacauan, stres akut, mendampingi, menemani, dan berkomunikasi dengan baik kepada korban bencana. Sehingga terbentuklah konseling dasar. Konseling dasar yang dilakukan lebih kepada rasa empati, menemani, dan menjadi pendengar yang baik. Selain itu juga mereka harus bisa mengajarkan penanganan stres seperti rileksasi dan mengatur nafas lambat.

Selain unsur kepastian, memberikan suasana yang mirip keadaan normal merupakan langkah lain yang mesti dipersiapkan. Misalnya dengan melibatkan pengungsi untuk membuat masakan sehari-hari, membersihkan area sekitar pengungsian dan lain sebagainya. Dengan mereka merasakan keadaan tersebut seperti keadaan normal yang mereka lakukan di tempat mereka masing-masing sebelum terjadi bencana.

Lalu buatlah para pengungsi di dalam satu wilayah yang mereka kenal satu sama lain. Ketika mereka berada di dalam lingkungan yang sama, mereka tidak akan merasa “sendiri”. Karena sudah saling mengenal sebelumnya, mereka bisa lebih mudah berbagi cerita, menangis bersama, sehingga terciptalah keterikatan rasa, karena jika hal tersebut didiamkan saja, maka keadaan reaksi stres akan menjadi stres akut kronik atau depresi berat pasca trauma, gangguan kepribadian bahkan bisa menggangu sebagian atau keseluruhan aspek kehidupan mereka seperti berkurang atau terlambatnya keproduktifan dirinya dalam kehidupan sehari-hari.

Meningkat

Dr. Suryo memberitahu, dalam masalah bencana, prevalensi penderita gangguan jiwa akan meningkat 10%. Jika penanganan awal dilakukan dengan baik dan benar, selanjutnya mungkin tidak ada masalah serius. Beda persoalan pada mereka yang tidak tersentuh oleh penanganan yang benar, kondisi demikian menuntut penanganan lanjutan. Kasus-kasus yang umum terjadi pasca bencana adalah reaksi stres akut, kronik dan gangguan-gangguan lain seperti phobia, panik dan keluhan-keluhan psikis lainnya atau sakit seperti masuk angin dan magh.

Butuh waktu yang lama untuk memulihkan jiwa para korban bencana. Paling tidak dibutuhkan waktu sekitar 3-6 bulan untuk menangani hal tersebut. Selain psikoterapi atau konseling, korban dibantu dengan obat anti depresan, yang diberikan pada 6 bulan pertama. Pemberian obat ditujukan agar korban bencana bisa kembali ke fungsi psikososial awal serta untuk mengatasi rasa depresinya. Sedangkan bagi orang yang memang sebelum mengalami bencana sudah memiliki gangguan jiwa, maka yang harus diatasi terlebih dahulu adalah gangguan jiwa sebelum bencana.

Bagaimana Dengan Anak-anak

Trauma pasca bencana pada anak-anak sering muncul perubahan perilaku. Anak akan lebih
agresif, sulit belajar, hiperaktif atau bahkan sebaliknya, menjadi pendiam. Tetapi anak bisa dikatakan sebagai orang yang cepat beradaptasi untuk mengalami perubahan. Yang perlu dilakukan adalah secepat mungkin melakukan normalisasi keadaan seperti sekolah darurat, akses bermain dan kebutuhan hidup dasar seperti makan dan pakaian, sehingga ketika bencana usai, anak tidak mengalami trauma berkepanjangan yang bisa mengganggu tumbuh kembang anak termasuk kepribadiannya.

Ayo sob, mari kita bantu atau setidaknya kita doakan semoga orang-orang yang terkena bencana alam dapat membuang traumanya, dan kesulitan serta kesusahan mereka cepat berakhir.. aamiin

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Membuang Trauma Bencana Menurut dr. Suryo Dharmono Sp.KJ(K)"

Post a Comment