Anak Penakut, Salah Siapa? Menurut Psikolog Ristriari, M.Psi
Ada sebagian orang tua memberikan cinta dan kasih sayang
kepada anaknya dengan cara yang terlalu protektif. Padahal, cara
tersebut kelak akan menjadi anak yang pencemas dan penakut. Seperti contoh, kita sebutlah Mawar yang seperti kehabisan akal setiap kali harus
menenangkan buah hatinya, Anjay (4 tahun) yang kerap berteriak ketakutan ketika
bertemu sang badut. Padahal sosok si badut, bagi orang dewasa
merupakan sesuatu yang biasa. Tapi tidak bagi anak batita atau balita. Hal itu
bisa bisa menimbulkan rasa takut. Apakah hal tersebut normal? Dan sampai usia berapa ketakutan ini akan
menghilang?
Hal yang Normal
Menurut Ristriari, M.Psi, rasa takut merupakan hal yang normal terjadi
pada anak, namun bukan berarti orang tua boleh mengabaikannya. Mengapa anak
sering takut? Rasa takut pada anak bisa jadi menunjukan perkembangan otaknya, misalnya anak anda takut dengan anjing. Rasa takut itu muncul karena anak sudah mampu memperkirakan dan mengerti
bahwa sebuah benda atau orang atau binatang itu berbahaya. Kenyataan ini
sebenarnya menggembirakan. Rasa takut, dalam arti yang positif, bisa dianggap
sebagai alat pelindung dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Mengikuti tahap perkembangan kecerdasan, daya
imajinasi anak juga berkembang sejalan dengan bertambahnya usia. Ini menunjukan
bahwa tahap berfikir anak sudah meningkat dari tahap kongkret ke tahap yang
lebih rumit, yaitu abstrak. Dari berbagai macam info yang masuk ke dalam daya
ingat-nya anak bisa membayangkan dan mengasosiasikan kalau gelap kemungkinan
ada monster, misalnya. Bila pada usia yang lebih kecil ruang gelap tidak
membuatnya takut, di usia dua tahun lebih, ia akan ketakutan berada di ruang
gelap. Apalagi bila pada usia ini anak sudah mulai terekspos film-film bergenre horror.
Menghindari Over Protektif
Namun takut dan cemas bisa pula bermakna
negatif. Ristriati M.Psi menjelaskan bahwa anak dengan rasa takut dan cemas negatif lahir dari orang tua dengan pola asuh terlalu perfeksionis dan
menginginkan anaknya menjadi satu orang yang hebat. Sistem pola asuh yang
primitif, tidak memiliki aturan jalan juga membuat anak bingung dan ada dua kemungkinan
yang bisa terjadi, yaitu anak menjadi pencemas atau ke arah sosok sebaliknya,
pemberontak.
Waspadai juga sikap orang tua yang terlalu
acuh misalkan anak dibiasakan tidak boleh keluar rumah. Sikap orang tua yang
terlalu protektif dan sangat takut terjadi sesuatu yang buruk terhadap anaknya.
Pola asuh demikian, dikatakan Ristriari memicu timbulnya rasa cemas yang
berlebihan terhadap diri si anak.
Anak yang sehat dan
sejahtera memang memerlukan perhatian dan perlindungan. Tetapi perhatian dan perlindungan
yang berlebihan malah akan menyulitkan sang anak untuk mengembangkan rasa percaya
diri dan ketangguhan yang mereka perlukan di masa depan. Dan bila orang tua
terlalu melindungi, akan menghilangkan kesempatan penting untuk perkembangan
dan meruntuhkan kemampuan mereka untuk bernegosiasi dengan tantangan-tantangan
kehidupan.
Lebih lanjut psikologi Ristriari, M.Psi menambahkan
anak mulai merasakan rasa cemas dan takut pada umur 3-6 tahun. Tetapi semua
tergantung pengalaman si anak ketika dia masih bayi, apakah lingkungan, atau
orang tua memberikan rasa yang aman dan nyaman atau tidak. Pada
rentang usia tersebut, jiwa anak memang sedang ingin mandiri dan ingin
melakukan beragam eksplorasi, bila dilarang maka akan timbul gejolak dari dalam
hatinya. Contoh ada 2 kemungkinan ketika orang tua mengucapkan kata ‘jangan’, ’tidak boleh’ atau
‘nanti jatuh’. Yang pertama menyebabkan anak menjadi takut dirumah atau yang kedua si
anak akan menghilangkan kata jangan dalam dirinya, jika dikatakan pada si anak itu ‘jangan lari-larian’, maka
si anak malah akan lari.
Namun kenyataannya, bila orang tua sudah
kehabisan akal mengatur si kecil, seringkali mereka akhirnya menakut-nakuti
secara berlebihan, walaupun tujuannya untuk membuat sang anak patuh, misalnya mengancam
bila tidak mau makan nanti akan dimakan raksasa atau anak ditakut-takuti akan disuntik dokter. Padahal KEBIASAAN MENAKUT-NAKUTI seperti ini dapat menjadikan
anak menjadi takut pada dokter ataupun pada jarum suntik.
Oleh karena itu ketika anak sedang dalam
mengembangkan eksplorasinya, dukunglah sang buah hati dan bukannya dengan
melarang, gunakan kata-kata seperti, “hati-hati kalau mau duduk.” Karena apapun
yang dikatakan orang tua baik sedikit
maupun banyak akan berpengaruh kepada anak, bukan malah menakutinya dengan imajinasi
dan persepsinya tentang monster, raksasa, binatang buas, dokter, dan sebagainya
yang mengancam dirinya.
Dan terakhir, Ristriati, M.Psi memberikan solusi yakni ketika menghadapi anak yang mempunyai rasa cemas dan takut dapat menggunakan berbagai cara, salah satunya dengan cara relaksasi, bisa juga dengan yoga, atau juga si anak bisa disuruh membayangkan tempat yang aman buat dia.
0 Response to "Anak Penakut, Salah Siapa? Menurut Psikolog Ristriari, M.Psi"
Post a Comment